BERWISATA ALAM DAN SEJARAH DI TONDANO MINAHASA
Selain
keindahan Taman Laut Bunaken, di Provinsi Sulawesi Utara juga terdapat wisata
alam dan sejarah. Persisnya di Kota Tondano, Kabupaten Minahasa. Di sana ada danau
Tondano, Kampung Jawa, dan makam Kiai Modjo, penasihat spiritual Pangeran
Diponegoro, serta makam Pahlawan Nasional Kiai Ahmad Rifa’i yang berasal dari
Kendal Jawa Tengah.
SENTIMEN
kedaerahan dan ''ikatan batin'' membawa saya yang berasal dari Semarang
tergerak untuk mengunjungi Kampung Jawa Tondano dan berziarah ke makam Kiai
Modjo serta Kiai Rifa’i di Kota Tondano, Minahasa Utara. Kota Tondano terletak
sekitar 65 km ke arah selatan dari Kota Manado, dan sekitar 3 km dari kota
''seribu bunga'', Tomohon. Jarak
tersebut dapat ditempuh 90 menit perjalanan dengan bermobil melalui jalan yang
sudah sepenuhnya diaspal. Namun, harap berhati-hati jika melintas jalur
tersebut, sebab jalannya berkelok-kelok. Dan sebaiknya, saat pergi dan pulang
dari Tondano, Anda tidak kemalaman di perjalanan. Selain ruas jalan yang tak
ada penerangan, juga rawan hadirnya preman mabuk yang sering mencegat mobil
yang melintas. Maka tak heran, jika di ruas jalan terdapat baliho-baliho besar
berisi imbauan : ''Brenti Jo Bagate'', atau berhenti mabuk.
Berjarak dua kilometer dari kota Tondano
terdapat Kampung Jawa Tondano atau sering juga disebut Kampung Jaton, merupakan
salah satu kelurahan yang berada di kecamatan Tondano Utara,
berpenghuni lebih dari 1800 jiwa. Warga Kampung Jaton merupakan
keturunan pengikut Pangeran Diponegoro yang dibuang ke Tondano pada tahun
1929, serta keturunan para pejuang lainnya. Kampung Jaton dan Kiai Modjo sangat
erat kaitannya. Karena Kiai Modjo dan pengikutnya yang mendirikan perkampungan
tersebut.
Memasuki Kampung Jaton, Anda akan
disambut Masjid Agung Al Falah, yang dibangun bersamaan dengan dibangunnya
kampung tersebut. Dengan menggunakan konsep sebagaimana model masjid di Jawa
pada masa lalu, masjid ini masih bisa menggambarkan sisa-sisa kebudayaan Kiai
Modjo dan pengikutnya. Meskipun sudah beberapa kali direnovasi, namun bentuk
utama dan tempat-tempat tertentu dari bagian masjid masih tetap dipertahankan
sampai saat ini. Sokoguru (tiang penyangga) yang berjumlah empat dan menjulang
setinggi kurang lebih 20 meter dibuat dari kayu utuh. Bagian bawah sokoguru ini
dihiasi dengan ukiran khas Jawa. Mimbar kutbah pun masih asli, dihiasi dengan
ukiran-ukiran kaligrafi Islam hampir di setiap bagiannya.
Jejak Kiai Modjo dan Kiai Rifa'i
Berjarak satu kilometer dari Kampung
Jaton terdapat kompleks makam Kiai Modjo
dan para pengikutnya. Di tempat ini juga dimakamkan salah satu pahlawan
nasional, KH Ahmad Rifa’i asal Kendal. Kompleks makam ini terletak di daerah
perbukitan di Desa Wulauan, Kecamatan Tolimambot. Karena letaknya berada di
atas bukit, peziarah bisa menyaksikan pemandangan sebagian kota serta danau
Tondano. Selain itu, ada beberapa bagian dari kompleks pemakaman ini yang
bisa dijelajahi seperti adanya batu nisan yang konon bisa mengeluarkan bunyi
seperti gamelan.
Menuju makam Kiai Modjo, peziarah harus
menaiki undakan menuju ke arah puncak bukit, berjarak sekitar 100 meter dari
tepi jalan. Di depan ''gerbang'' undakan, di mana pintu pagar pertama berada,
ada papan nama serta penjelasan singkat tentang Makam Kiai Modjo yang mulai
terlihat usang, serta papan nama Pahlawan Nasional KH Ahmad Rifa’i yang
terlihat masih baru.
Papan nama di pintu undakan menceritakan
bahwa rombongan Kiai Mojo yang tiba di Tondano pada akhir tahun 1929 itu
berjumlah 63 orang, dan semuanya laki-laki. Mereka kemudian menikah dengan
wanita Minahasa, di antaranya bermarga Supit, Sahelangi, Tombokan, Rondonuwu,
Karinda, Ratulangi, Rumbajan, Malonda, Tombuku, Kotabunan, dan Tumbelaka, dan
kemudian beranak pinak di Kampung Jaton di Tondano. Papan tersebut juga menyebutkan bahwa Kiai
Mojo, yang nama aslinya adalah Kiai Muslim Muhammad Halifah, lahir pada 1764
dan wafat pada 20 Desember 1849.
Ada sebuah tengara yang dipahat di
dinding tembok sebelah kiri pintu gerbang undakan, yang menunjukkan tahun
pemugaran kompleks Makam Kiai Modjo yang diresmikan oleh Prof. Dr. Haryati
Soebadio pada 1981. Makam Kiai Mojo, satu-satunya makam di dalam kompleks yang
memiliki undakan sembilan.
Namun, yang dimakamkan di sana bukan
hanya pengikut Pangeran Diponegoro. Ada juga Makam Kiai Ahmad Rifa’i yang
dianugerahi gelar pahlawan nasional pada 10 November 2004 oleh Presiden SBY.
Cungkup KH Ahmad Rifa'i berada dalam sebuah bangunan khusus di samping makam
Kyai Modjo. Kiai Rifa’i yang lahir tahun 1786 di Tempuran, Kendal, Jawa Tengah,
dan meninggal pada tahun 1859 adalah seorang ulama yang terkenal sangat anti
penjajah Belanda, yang secara terbuka diungkapkannya melalui dakwah dan
tulisan-tulisannya. Kyai Rifa’i mengajarkan bahwa pemerintah kolonial Belanda
adalah kafir karena menindas rakyat, kaum birokrat tradisional adalah antek
Belanda, dan karena itu juga kafir, dan praktik beragama tidak boleh bercampur
dengan kepercayaan nenek moyang, yang dinilainya sesat dan musyrik. Kiai Rifa’i
juga menikah dengan perempuan Minahasa dan memiliki banyak keturunan, yang di
antaranya menjadi juru kunci Makam KiaModjo.
Selain cungkup makam Kiai Modjo dan Kiai
Rifa’i ada juga cungkup Makam KH Hasan Maulani, yang dikenal juga dengan
sebutan Eyang Lengkong, karena berasal dari Desa Lengkong, Garawangi, Kabupaten
Kuningan, Jawa Barat. Kyai Hasan, yang oleh orang Kuningan disebut ''Eyang
Menado'', ditangkap Belanda pada 1837 lalu dibawa ke Ternate.
Usai berziarah di makam para pejuang
bangsa, Anda bisa melihat keindahan Danau Tondano. Objek wisata air di Sulawesi
Utara ini memiliki luas 4.278 hektar persegi. Menariknya, danau ini diapit oleh
empat dataran tinggi sekaligus. Pegunungan Lembean, Gunung Kaweng, Bukit
Tampusu, dan Gunung Masarang mengapit danau ini dan membuatnya menjadi semakin
indah.
Beberapa bangunan dari bambu yang
menjorok ke tengah danau, mirip seperti dermaga kecil, sangat cocok untuk
bersantai bersama keluarga menikmati hamparan air danau yang dari kejauhan
tampak gelap. Sekadar duduk-duduk menikmati makanan bersama keluarga, berfoto,
atau memancing. Menyaksikan keindahan
danau hanya dari satu tempat memang kurang memberikan kepuasan. Berkeliling
sambil berjalan santai di tepian danau mungkin bisa menjadi alternatif. Bukan
hanya itu, menikmati pemandangan dari tengah danau pun bisa Anda lakukan dengan
cara menyewa kapal kecil untuk menyusurinya.
Di danau ini pula sering diadakan pesta
nelayan. Pesta ini dimeriahkan dengan hadirnya ratusan perahu bolotu yang
bercorak warna-warni di tengah-tengah danau. Di dalam pesta ini, tedapat
berbagai kegiatan, seperti lomba dayung, lomba perahu hias, lomba tangkap ikan
tanpa alat, serta parade perahu bolotu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar