Senin, 28 Maret 2016

8 Kuliner Khas Lombok


8 Kuliner Khas Lombok Wajib Dicoba


Ayam Taliwang

Masakan ayam taliwang berasal dari nama kampung (karang) di Lombok yaitu Karang Taliwang, kecamatan Cakranegara, Mataram. Dalam penyajiannya, ayam taliwang biasanya dimasak dengan beberapa pilihan yakni digoreng, dipanggang atau dibakar. Para penjual ayam taliwang di Lombok biasanya memasak menggunakan kayu bakar dengan kualitas kelas satu seperti kayu kopi atau kayu nangka. Kayu jenis ini memberikan aroma lebih enak dan nyala api yang lebih lama. Untuk ayam taliwang yang digoreng, mereka menggunakan minyak kelapa asli dalam jumlah banyak dengan api besar. Kelezatan ayam taliwang terletak pada bumbunya yang super pedas. Dua jenis bumbu yang digunakan untuk hidangan ini adalah “pelecingan” dan “pelalah”. Pelecingan adalah bumbu yang agak pedas dibuat dari cabai merah dan cabai rawit. garam, terasi dan kemiri. Sedangkan pelalah menggunakan santan dan sedikit terasi, digoreng bersama ayam yang sudah dipotong. Bumbu ini rasanya tidak terlalu pedas. Ayam yang baru beranjak dewasa atau yang baru dipisah dengan induknya pada usia tiga atau empat bulan yang paling pas untuk dimasak. Ayam yang masih muda akan terasa lebih manis tanpa menambahkan gula ke dalam masakan, atau tanpa proses macam-macam untuk menjadikannya empuk.



·         Plecing Kangkung

Plecing kangkung terdiri dari kangkung yang direbus dan disajikan dalam keadaan dingin dan segar ditambah sambal tomat. Sambal tomatnya dibuat dari racikan cabai rawit, garam, terasi, dan tomat. Plecing kangkung dihidangkan dengan tambahan sayuran seperti tauge, kacang panjang, kacang tanah goreng ataupun urap. Kangkung yang digunakan untuk memasak plecing ini sangat khas. Tidak seperti tanaman kangkung yang biasa tumbuh di pulau Jawa, kangkung khas Lombok berupa kangkung air yang biasanya ditanam di sungai yang mengalir dengan metode tertentu sehingga menghasilkan kangkung dengan batang yang besar dan renyah. Kangkung di daerah ini memang sangat terkenal, teksturnya lembut sehingga tidak terasa alot walaupun dimakan hingga ke batangnya. Selain kangkungnya yang khas, sambal plecing yang menghadirkan rasa enak dikarenakan memakai terasi Lengkare yang rasanya lebih gurih dan manis. Plecing kangkung sendiri biasanya disajikan dengan bentuk lingkaran. Dimulai dengan lingkaran besar kemudian di atas ada lingkaran yang lebih kecil seterusnya mengerucut hingga ke atas. Tujuan penyajian seperti ini agar bahan sayur dan sambal bisa terlihat semua dari atas. Susunannya, kangkung di lingkaran paling besar, kemudian di atasnya ada tauge, kemudian kacang goreng, dan yang terakhir diletakkan sambal plecing menutupi kacang tanah. Kacang tanah goreng ini fungsinya untuk menetralisir pedas dan penyeimbang rasa antara kangkung dan tauge yang mempunyai banyak serat.



Beberuk Terung

Beberuk adalah lalapan khas Lombok,  bahan dasarnya berupa irisan terung dan kacang panjang yang disiram sambal tomat. Jenis terung yang dipakai untuk beberuk adalah terung gelatik yang mempunyai tekstur renyah dan rasa langu tetapi tidak getir atau sepet. Terung dan tomat dipotong kemudian dicampur dengan bumbu halus yang terdiri dari cabai merah keriting, cabai rawit, bawang putih, bawang merah, kencur, terasi bakar, gula pasir dan garam dengan minyak jelantah atau minyak goreng.  Beberuk ini menghasilkan rasa manis, pedas, asam dan segar.


Ares
Ares adalah sayuran khas Lombok yang bahan utamanya berasal dari pelepah atau gedebok pisang yang masih muda. Rasa hidangan yang diolah dengan santan ini cukup unik, manis dan gurih. Cara pembuatan ares dengan cara mengupas batang pisang hingga menyisakan sedikit bagian dalamnya. Pohon pisang yang dipakai adalah batang yang belum memiliki bunga. Bagian inilah yang diiris tipis diberi garam, diremas-remas dan dicuci hingga bersih sebelum akhirnya diolah. Bumbu yang digunakan mirip  untuk masakan kare yakni ketumbar, jintan, lengkuas, bawang putih, bawang merah, jahe, kemiri dan kunyit. Bumbu tersebut dimasak dengan pelepah pisang yang sudah dipotong-potong ditambah garam dan gula secukupnya. Sayur ares juga bisa ditambahkan dengan daging. Ares yang merupakan makanan tradisional Suku Sasak ini pada awalnya hanya disajikan saat acara begawe yakni acara makan-makan setelah berlangsungnya pernikahan.


Sate Bulayak
Inilah makanan khas Lombok lainnya selain ayam taliwang dan plecing kangkung. Sate ini terbuat dari daging sapi yang dilumuri dengan bumbu khas Lombok disajikan dengan  bulayak, sejenis lontong yang dibungkus dengan daun aren atau daun enau dengan bentuk memanjang seperti spiral, sehingga untuk membukanya harus dengan gerakan memutar. Dalam bahasa Sasak, “bulayak” memang berarti “lontong”.  Bagi beberapa orang, rasa bulayak jauh lebih lembut dan gurih dibanding lontong maupun ketupat. Bumbu sate terbuat dari kacang tanah yang disangrai dan ditumbuk, lalu direbus dengan santan dalam jumlah banyak. Setelah itu dicampur dengan bumbu-bumbu lain seperti bawang, ketumbar, jintan dan cabai. Sate yang sudah dilumuri bumbu kemudian dibakar di atas arang batok kelapa.  Setelah matang, sate dikucuri air jeruk nipis dan ditaruh sambal. Racikan bumbu sate bulayak yang sarat dengan cabai inilah yang membuat rasa sate tidak hanya gurih namun juga super pedas, seperti citarasa makanan khas lombok lainnya. Bagi Anda yang tidak biasa makan makanan pedas ada baiknya untuk tidak makan sambalnya terlalu banyak. Cara menghidangkan sate bulayak juga unik. Penjual biasanya tidak menyediakan garpu maupun sendok sehingga Anda harus menikmati sate ini dengan cara menusuk bulayak dengan tusuk sate kemudian menyocolkannya pada bumbu  yang sudah disediakan. Semula penjual sate bulayak hanya bisa ditemui di Kecamatan Narmada Lombok Barat, namun kini sudah merambah ke berbagai tempat, khususnya di objek-objek wisata seperti di halaman Pura Lingsar,  Taman Narmada, Taman Suranadi, Makam Loang Baloq hingga di beberapa sudut Pantai Senggigi serta di Jalan Udayana. Seporsi Sate Bulayak terdiri atas satu piring sate yang berisi 10 tusuk dan 5 hingga 6 potong bulayak dengan harga Rp. 12 ribu.



 Sate Rembiga

Selain sate bulayak, Lombok masih punya sate yang juga tak kalah enak dan khas, yakni sate rembiga. Dinamakan “rembiga” karena berasal dari nama sebuah desa Rembiga yang berada di dekat bekas bandara Selaparang. Sate yang berbahan utama sapi ini rasanya sangat lezat, perpaduan antara gurih, manis dan pedas. Bahan yang dibutuhkan untuk membuat sate Rembiga ini sangatlah sederhana dan mudah untuk dicari yaitu cabe rawit, terasi, bawang putih, garam, gula dan tentu saja daging sapi. Daging sate khas Rembiga ini dipotong kecil-kecil. Sebelum dimasak, dagingnya direndam dengan bumbu hingga 3 jam supaya meresap. Dengan komposisi yang pas dan kombinasi rasa yang seimbang, akan menghasilkan rasa sate yang enak walaupun racikan bumbunya sangat sederhana. Daging sapi walaupun membutuhkan waktu yang lama agar empuk, namun memiliki rasa yang enak jika tepat cara pengolahannya. Para penikmat Sate Rembiga mengakui bahwa daging sate ini tidak alot. Rasanya yang pedas plus kucuran jeruk nipis membuat rasa sate ini menjadi sangat gurih.
Sejarah sate rembiga ternyata sudah dimulai sejak zaman kerajaan. Adalah seorang keluarga Raja Pejanggik yang tinggal di Rembiga dan sangat ahli membuat sate. Secara turun temurun keahlian itu diajarkan ke generasi penerusnya hingga sekarang. Kini keahlian meracik sate rembiga tidak hanya masalah keahlian yang turun temurun namun sudah menjadi usaha yang mengangkat perekonomian warga Rembiga dan Mataram. Tak heran jika tidak hanya di Rembiga Anda bisa membeli sate ini. Namun seolah rasa tidak pernah bohong, sate rembiga yang dijual di Rembiga tetap menawarkan rasa yang paling enak dibandingkan dengan sate sejenis di tempat lain.Memang akan lebih afdol jika Anda menikmati Sate rembiga di warung di mana sate ini pertama dikenalkan, yaitu Warung Rembiga di Jalan Dakota Nomor 2 Rembiga Mataram yang sudah berdiri sejak 25 tahun lalu.




Sate Tanjung

Sate tanjung bahan utamanya ikan cakalang atau ikan langoan. Jika cakalang sedang jarang dijumpai di pasaran, maka ikan langoan-lah yang dipakai. Selain cakalang dan langoan, ada ikan marlin yang biasanya dipakai sebagai bahan untuk sate tanjung.  Fillet ikan diiris kecil-kecil, dibasahi dan diberikan bumbu  yang dihaluskan terdiri dari cabai rawit, kunyit, jahe, lengkuas, kemiri, garam, dan cuka. Setelah bumbu dan daging ikan siap, tambahkan santan kelapa kental. Tiga bahan itu diaduk hingga menjadi tepung. Jika sudah, adonan dijadikan tusukan dalam sebilah bambu. Setiap tusuk berisi 5 biji. Setelah itu, dipanggang di atas bara api batok kelapa. Supaya harum, jangan lupa diberi perasan daun jeruk nipis. Sate tanjung sangat nikmat dimakan pada saat masih panas sebagai teman lontong atau nasi. Rasa gurih dari daging dan santan serta pedas dari rempah-rempah sangat terasa. Campuran rempah-rempah dan ikan yang dibakar ini membuat badan akan terasa bugar, hangat dan berkeringat. Anda bisa membeli sate ini di pinggir jalan sekitar pasar Tanjung atau sekitar Terminal Tanjung. Harga per tusuknya Rp. 500 atau jika ingin memesan satu porsi, Anda hanya perlu merogoh kocek Rp. 10 ribu. Rata-rata penjual sate tanjung ini akan mangkal sejak pukul 14.00 hingga 21.00 waktu setempat.



Nasi Balap Puyung

Secara tampilan, menu nasi balap puyung ini tidak terlalu istimewa. Hanya berisi suwiran daging ayam yang diolah bersama cabai, kacang kedelai, taburan udang kering, abon serta belut goreng. Kekuatan makanan ini ada pada rasa pedas bumbunya yang sederhana. Sedangkan bumbu ayamnya terdiri dari cabai, bawang putih dan terasi. Untuk perbandingan, jika kita memasak 10 kg ayam, komposisi cabainya sekitar 1 kg dan sedikit bawang putih serta terasi.
Di Lombok, Nasi Balap Puyung Cap Inaq Esun yang paling terkenal. Berada di Desa Puyung, Lombok Tengah, warga sekitar menyebutnya sebagai makanan cepat saji. Untuk menjangkau tempat ini Anda harus masuk gang-gang kecil yang gelap dan jauh.  Memulai usahanya sejak tahun 70-an, tak heran jika tempat makan ini menjadi tujuan wisatawan domestik dan luar negeri. Kini, rumah makan yang hanya mempunyai 2 cabang yakni di bilangan Plaza Senggigi, Lombok Barat dan Jalan Sriwijaya Mataram ini dikelola oleh Hj. Syarifa yang merupakan anak dari Inaq Esun. Rata-rata setiap harinya terjual 600 hingga 700 bungkus nasi dengan harga bervariasi dari Rp. 7 ribu hingga Rp. 10 ribu. Jika malam semakin larut, tempat makan ini semakin ramai pembeli.  Keistimewaan nasi milik Inaq Esun ini adalah karena tidak memakai bahan pengawet alias bahan-bahannya alami dan diproses dengan bumbu tradisional khas Sasak. Selain pedas, sajian nasi balap puyung ini juga gurih. Terasa saat Anda mengunyah campuran suwir ayam dan kacang kedelai goreng. Paduan pedas dan gurih inilah yang membuat pembeli ketagihan. Pada awalnya, nasi super pedas ini bernama “nasi balap”  saja. Dinamakan nasi balap karena konon makanan ini hanya disajikan di pelabuhan dan terminal saja. Karena dijual di tempat itu, maka penjajanya selalu terburu-buru melayani pembeli karena berlomba dengan laju bus dan kapal yang akan berangkat. Ada juga yang mengatakan bahwa Inaq Esun pertama menjual makanan khas ini di Pasar Kebon Roek, Mataram dengan sistem barter. Yaitu menukar masakannya dengan kebutuhan lainnya. Barulah sejak tahun 90-an diberi nama nasi balap puyung karena salah satu cucu Inaq Esun yang merupakan pembalap lokal sering memenangi perlombaan. Setiap usai perlombaan balapan dan menang, ia selalu mengajak teman-temannya untuk makan di warung kecil milik neneknya yang berada di Desa Puyung itu. Sehingga tercetuslah nama “nasi balap puyung”. Dalam perkembangannya, kini banyak sekali rumah makan di Lombok yang menggunakan titel “balap puyung”  atau “nasi puyung”.






Menikmati Ayam Taliwang dan Plecing Kangkung di Taliwang Irama


Menikmati Kelezatan Ayam ‘’Muda dan Liar’’ Taliwang

            Setiap daerah pasti memiliki masakan dan menu khas. Sehingga berwisata kuliner saat mengunjungi satu daerah akan menjadi bagian dari keseluruhan wisata yang dilakukan. Saat berkunjung ke Lombok, Anda wajib mencicipi dua menu populer di sana, yaitu ayam taliwang dan plecing kangkung dengan cita rasa aslinya. Dua menu ini sebenarnya juga dijual di berbagai kota di Indonesia. Namun, merasakan dua menu ini langsung dari daerah asalnya tentu membawa pengalaman tersendiri.
            Sebagai makanan khas Lombok, ayam taliwang menyimpan sejarah panjang. Masakan ini pertama kali diperkenalkan oleh juru masak Sultan Sumbawa yang ditempatkan di Lombok pada zaman Raja Karangasem. Masakan ayam taliwang menjadi terkenal berkat mendiang Papuq Maknawiyah seorang penjual nasi ayam dari kampung (karang) Taliwang Lombok. Papuq atau dalam bahasa Lombok artinya nenek berjualan di pasar Cakranegara hingga akhirnya berpindah jualan di rumah seiring bertambahnya usia. Setelah tiada, racikan bumbu ayam taliwang dilestarikan melalui Rumah Makan Ayam Taliwang di kompleks pertokoan Cakranegara milik Muhibin Murad yang tak lain adalah saudara jauh Maknawiyah.  Rumah makan yang ada sejak tahun 1966 itu menjadi satu-satunya warung ayam taliwang saat itu.
            Kini, rumah makan ayam taliwang sudah menjamur di Lombok, baik penjual kaki lima, warung biasa hingga restoran. Beberapa di antaranya adalah penjual ayam taliwang keturunan Muhibin Murad dan juga warga Karang Taliwang. Racikan bumbu juru masak dari Karang Taliwang yang sudah puluhan tahun meracik ayam taliwang inilah yang diyakini mempunyai rasa paling enak. Tak heran jika kemudian rumah-rumah makan lainnya juga memesan bumbu dari Karang Taliwang.
            Dari beberapa resto yang menjual menu ayam taliwang, salah satu yang terkenal adalah Restoran Lesehan Ayam Bakar Taliwang Irama di jalan Ade Irma Suryani No.10 Cakranegara, Mataram. Rumah makan ini menyediakan ayam taliwang bakar dan goreng, plecing kangkung dan beberapa menu khas Lombok lainnya. Jika Anda berkunjung ke sini saat makan siang, mulai pukul 12.00 WITA, bisa dipastikan Anda tak akan kebagian tempat duduk. Pada jam-jam makan siang, pengunjung di warung ini membludak. Pengunjung resto ini sebagian besar adalah para wisatawan yang penasaran dengan citarasa asli makanan khas Lombok.


            






Rumah makan ini memiliki 2 area tempat makan, yaitu area indoor dan outdoor berupa saung-saung lesehan yang berada di taman yang cukup asri. Setelah memilih tempat duduk, Anda bisa langsung memesan makanan. Khusus untuk ayam taliwang, tersedia beberapa varian, seperti ayam bakar sedang, ayam bakar pedas, ayam bakar madu pedas, ayam goreng dan ayam pelecingan goreng, yang semuanya satu harga Rp 45 ribu. Pilihan lain bisa berupa ikan dengan bumbu taliwang. Ada juga sop bebalung taliwang seharga Rp 40 ribu. Sedang untuk sayur ada pelecing kangkung dan sambal terung bakar seharga Rp 7500,-. Jika pengunjung ramai, Anda harus sabar menunggu pesanan datang, lamanya kurang lebih 20 menit.


            Di Lombok, masakan ayam taliwang selalu disajikan dalam ukuran ekor, bukan potong. Selain itu, yang menjadi penanda paling khas adalah bahan olahan berupa ayam kampung liar berusia 4-5 bulan. Pemilihan ayam muda dan liar untuk menjaga kualitas rasa. Ayam muda memberi rasa manis pada daging dan liar akan menghasilkan tekstur daging yang sedikit kenyal. Paduan ayam bercitarasa manis dan kenyal, apabila diberi bumbu pelalah yang pedas, akan menghadirkan rasa yang menggigit. Karena ayam yang dimasak berusia muda, membuat ukuran ayam taliwang tak lebih besar dari kepalan orang dewasa.


         
Selain bahan baku ayam pilihan, citarasa khas masakan ini juga didapat dari bumbu pelalah. Bumbu ini diracik dari bahan-bahan seperti kemiri, cabai kering, terasi, bawang putih, dan santan. Minyak dalam bumbu setengah cair ini berasal dari kemiri dan santan. Saat bersantap, daging ayam bisa dicolekkan pada bumbu atau seluruh bumbu dilumurkan pada ayam. Tentu sensasinya berbeda, tergantung selera, mau langsung terasa pedasnya atau merasakan rasa pedas manis secara bertahap. Sebagai teman bersantap, ayam taliwang cocok disandingkan dengan menu lain seperti tahu Lombok, plecing kangkung dan beberuk

.

            Menu plecing kangkung juga memiliki citarasa yang khas karena dibuat dari kangkung lombok yang memiliki sulur-sulur yang panjang dengan batang berukuran besar. Meski memiliki rongga besar pada batangnya, kangkung ini memiliki tekstur lembut dengan daun yang cukup lebar.  Selain plecing kangkung, Anda bisa menambah menu lain sebagai teman ayam taliwang, yaitu beberuq yang mirip lalapan di Sunda dan Jawa. Bedanya, selain sayuran, kacang panjang mentah, dan mentimun, beberuq dilengkapi dengan terung ungu bulat mentah. Setelah dicolekkan pada sambal terasi, beberuq memberi sensasi rasa renyah yang natural.


            Tak hanya makan di tempat, jika Anda ingin memesan menu dan membawanya pulang atau menjadikannya oleh-oleh, Restoran Ayam Taliwang Irama sudah terbiasa dengan melayani permintaan untuk take away. Restoran ini akan menyiapkan makanan yang bakal Anda bawa pulang dalam kemasan yang rapi serta mudah dibawa. Oh iya, sebelum beranjak dari restoran ini, Anda bisa mampir sebentar untuk membeli aneka aksesori mutiara air tawar khas Lombok dari ibu-ibu yang menjajakan dagangannya di depan restoran ini.





Kamis, 17 Maret 2016

Tondano Minahasa

BERWISATA ALAM DAN SEJARAH DI TONDANO MINAHASA

Selain keindahan Taman Laut Bunaken, di Provinsi Sulawesi Utara juga terdapat wisata alam dan sejarah. Persisnya di Kota Tondano, Kabupaten Minahasa. Di sana ada danau Tondano, Kampung Jawa, dan makam Kiai Modjo, penasihat spiritual Pangeran Diponegoro, serta makam Pahlawan Nasional Kiai Ahmad Rifa’i yang berasal dari Kendal Jawa Tengah.

SENTIMEN  kedaerahan dan ''ikatan batin'' membawa saya yang berasal dari Semarang tergerak untuk mengunjungi Kampung Jawa Tondano dan berziarah ke makam Kiai Modjo serta Kiai Rifa’i di Kota Tondano, Minahasa Utara. Kota Tondano terletak sekitar 65 km ke arah selatan dari Kota Manado, dan sekitar 3 km dari kota ''seribu bunga'',  Tomohon. Jarak tersebut dapat ditempuh 90 menit perjalanan dengan bermobil melalui jalan yang sudah sepenuhnya diaspal. Namun, harap berhati-hati jika melintas jalur tersebut, sebab jalannya berkelok-kelok. Dan sebaiknya, saat pergi dan pulang dari Tondano, Anda tidak kemalaman di perjalanan. Selain ruas jalan yang tak ada penerangan, juga rawan hadirnya preman mabuk yang sering mencegat mobil yang melintas. Maka tak heran, jika di ruas jalan terdapat baliho-baliho besar berisi imbauan : ''Brenti Jo Bagate'', atau berhenti mabuk.
Berjarak dua kilometer dari kota Tondano terdapat Kampung Jawa Tondano atau sering juga disebut Kampung Jaton, merupakan salah satu kelurahan yang berada di kecamatan Tondano Utara, berpenghuni lebih dari 1800 jiwa. Warga Kampung Jaton merupakan keturunan pengikut Pangeran Diponegoro yang dibuang ke Tondano pada tahun 1929, serta keturunan para pejuang lainnya. Kampung Jaton dan Kiai Modjo sangat erat kaitannya. Karena Kiai Modjo dan pengikutnya yang mendirikan perkampungan tersebut.



Memasuki Kampung Jaton, Anda akan disambut Masjid Agung Al Falah, yang dibangun bersamaan dengan dibangunnya kampung tersebut. Dengan menggunakan konsep sebagaimana model masjid di Jawa pada masa lalu, masjid ini masih bisa menggambarkan sisa-sisa kebudayaan Kiai Modjo dan pengikutnya. Meskipun sudah beberapa kali direnovasi, namun bentuk utama dan tempat-tempat tertentu dari bagian masjid masih tetap dipertahankan sampai saat ini. Sokoguru (tiang penyangga) yang berjumlah empat dan menjulang setinggi kurang lebih 20 meter dibuat dari kayu utuh. Bagian bawah sokoguru ini dihiasi dengan ukiran khas Jawa. Mimbar kutbah pun masih asli, dihiasi dengan ukiran-ukiran kaligrafi Islam hampir di setiap bagiannya.  







Jejak Kiai Modjo dan Kiai Rifa'i

Berjarak satu kilometer dari Kampung Jaton terdapat kompleks makam  Kiai Modjo dan para pengikutnya. Di tempat ini juga dimakamkan salah satu pahlawan nasional, KH Ahmad Rifa’i asal Kendal. Kompleks makam ini terletak di daerah perbukitan di Desa Wulauan, Kecamatan Tolimambot. Karena letaknya berada di atas bukit, peziarah bisa menyaksikan pemandangan sebagian kota serta danau Tondano. Selain itu,  ada beberapa bagian dari kompleks pemakaman ini yang bisa dijelajahi seperti adanya batu nisan yang konon bisa mengeluarkan bunyi seperti gamelan.
Menuju makam Kiai Modjo, peziarah harus menaiki undakan menuju ke arah puncak bukit, berjarak sekitar 100 meter dari tepi jalan. Di depan ''gerbang'' undakan, di mana pintu pagar pertama berada, ada papan nama serta penjelasan singkat tentang Makam Kiai Modjo yang mulai terlihat usang, serta papan nama Pahlawan Nasional KH Ahmad Rifa’i yang terlihat masih baru.
Papan nama di pintu undakan menceritakan bahwa rombongan Kiai Mojo yang tiba di Tondano pada akhir tahun 1929 itu berjumlah 63 orang, dan semuanya laki-laki. Mereka kemudian menikah dengan wanita Minahasa, di antaranya bermarga Supit, Sahelangi, Tombokan, Rondonuwu, Karinda, Ratulangi, Rumbajan, Malonda, Tombuku, Kotabunan, dan Tumbelaka, dan kemudian beranak pinak di Kampung Jaton di Tondano.  Papan tersebut juga menyebutkan bahwa Kiai Mojo, yang nama aslinya adalah Kiai Muslim Muhammad Halifah, lahir pada 1764 dan wafat pada 20 Desember 1849.
Ada sebuah tengara yang dipahat di dinding tembok sebelah kiri pintu gerbang undakan, yang menunjukkan tahun pemugaran kompleks Makam Kiai Modjo yang diresmikan oleh Prof. Dr. Haryati Soebadio pada 1981. Makam Kiai Mojo, satu-satunya makam di dalam kompleks yang memiliki undakan sembilan.



Namun, yang dimakamkan di sana bukan hanya pengikut Pangeran Diponegoro. Ada juga Makam Kiai Ahmad Rifa’i yang dianugerahi gelar pahlawan nasional pada 10 November 2004 oleh Presiden SBY. Cungkup KH Ahmad Rifa'i berada dalam sebuah bangunan khusus di samping makam Kyai Modjo. Kiai Rifa’i yang lahir tahun 1786 di Tempuran, Kendal, Jawa Tengah, dan meninggal pada tahun 1859 adalah seorang ulama yang terkenal sangat anti penjajah Belanda, yang secara terbuka diungkapkannya melalui dakwah dan tulisan-tulisannya. Kyai Rifa’i mengajarkan bahwa pemerintah kolonial Belanda adalah kafir karena menindas rakyat, kaum birokrat tradisional adalah antek Belanda, dan karena itu juga kafir, dan praktik beragama tidak boleh bercampur dengan kepercayaan nenek moyang, yang dinilainya sesat dan musyrik. Kiai Rifa’i juga menikah dengan perempuan Minahasa dan memiliki banyak keturunan, yang di antaranya menjadi juru kunci Makam KiaModjo.
Selain cungkup makam Kiai Modjo dan Kiai Rifa’i ada juga cungkup Makam KH Hasan Maulani, yang dikenal juga dengan sebutan Eyang Lengkong, karena berasal dari Desa Lengkong, Garawangi, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Kyai Hasan, yang oleh orang Kuningan disebut ''Eyang Menado'', ditangkap Belanda pada 1837 lalu dibawa ke Ternate.
Usai berziarah di makam para pejuang bangsa, Anda bisa melihat keindahan Danau Tondano. Objek wisata air di Sulawesi Utara ini memiliki luas 4.278 hektar persegi. Menariknya, danau ini diapit oleh empat dataran tinggi sekaligus. Pegunungan Lembean, Gunung Kaweng, Bukit Tampusu, dan Gunung Masarang mengapit danau ini dan membuatnya menjadi semakin indah.
Beberapa bangunan dari bambu yang menjorok ke tengah danau, mirip seperti dermaga kecil, sangat cocok untuk bersantai bersama keluarga menikmati hamparan air danau yang dari kejauhan tampak gelap. Sekadar duduk-duduk menikmati makanan bersama keluarga, berfoto, atau memancing.  Menyaksikan keindahan danau hanya dari satu tempat memang kurang memberikan kepuasan. Berkeliling sambil berjalan santai di tepian danau mungkin bisa menjadi alternatif. Bukan hanya itu, menikmati pemandangan dari tengah danau pun bisa Anda lakukan dengan cara menyewa kapal kecil untuk menyusurinya.





Di danau ini pula sering diadakan pesta nelayan. Pesta ini dimeriahkan dengan hadirnya ratusan perahu bolotu yang bercorak warna-warni di tengah-tengah danau. Di dalam pesta ini, tedapat berbagai kegiatan, seperti lomba dayung, lomba perahu hias, lomba tangkap ikan tanpa alat, serta parade perahu bolotu.




Rabu, 16 Maret 2016

Batik Semarang 16


BELAJAR DAN MEMBURU BATIK RASA SEMARANG
DI SANGGAR BATIK SEMARANG 16




Sentra produksi Batik menjadi salah satu daya pikat wisata di berbagai daerah Indonesia. Terlebih sejak UNESCO menetapkan Batik Indonesia sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Nonbendawi sejak 2 Oktober 2009.
Khusus di Semarang, Ibukota Jawa Tengah, jika ingin mempelajari dan mencari referensi atau sekadar berbelanja Batik Semarang, Anda bisa mengunjungi Sanggar Batik Semarang 16. Lokasi sanggarnya berada di tengah kebun jati, di desa Sumberejo kelurahan Meteseh, jauh dari hiruk pikuk kota. Sehingga Anda bisa menjadikannya sebagai tujuan untuk refreshing. Selama perjalanan menuju ke tempat ini, Anda akan melewati pemandangan desa yang cukup asri.


Sanggar Batik Semarang 16 merupakan sebuah rumah besar yang ditata terintegrasi menjadi pusat produksi, pelatihan dan  objek wisata pembuatan batik tradisional. Di satu lokasi, pengunjung bisa mengeksplorasi seluk beluk tentang Batik Semarang. Mulai dari  menenun kain, mendesain motif batik, mencanting, proses pengecapan, pewarnaan, membuat busana dan aksesoris berbahan Batik, mencari dan membaca literatur, belajar membatik hingga berbelanja Batik. Sanggar Batik Semarang 16  memang dibuat sebagai ‘’one stop batik explore’’ yang memiliki workshop pembuatan batik, galeri busana dan aksesoris Batik, perpustakaan, homestay, aula joglo yang dibuat ‘’mengapung’’ di tengah kolam sebagai tempat diskusi dan pertunjukkan seni dan  tak lama lagi akan dilengkapi dengan kafe.









Sanggar Batik Semarang 16 menawarkan fasilitas homestay bagi wisatawan yang ingin mengenal lebih jauh tentang proses pembuatan Batik Semarang atau sekadar ingin menikmati suasana alam pedesaan. Selain itu, Sanggar Batik Semarang juga menawarkan program workshop pembuatan Batik dengan beragam paket, yaitu paket pembuatan Batik ukuran saputangan, syal, dan kain 2 meter. Sanggar ini juga menerima kunjungan dari sekolah, instansi maupun wisatawan asing. Tercatat sanggar ini pernah mendapat kunjungan dari turis Malaysia, Tiongkok, Belanda, Australia. 



Saat ini Sanggar Batik Semarang 16 menjadi rujukan untuk pelatihan dan kunjungan karena  merupakan satu-satu sanggar yang konsen dan konsisten memproduksi Batik sehingga menjadi pionir perbatikan di Semarang. Selain itu, Sanggar Batik 16 juga konsisten dengan tradisi riset, baik dalam menciptakan motif, mengomposisikan warna, maupun membuat inovasi rancang busana dan terus mencari ciri Batik bergaya Semarang.  Sejak awal berdiri, Sanggar Batik Semarang 16 sudah melibatkan akademisi, ilmuwan, dan kalangan budayawan untuk mencipta motif, memilih warna dan mempelajari selera publik sebelum melepas produk.  Sehingga, sanggar ini begitu produktif dalam melepas motif yang tematikmulai dari tema ikon kota, kuliner, legenda, adat kebiasaan, hingga permainan tradisional yang pernah hidup maupun masih hidup di Semarang. Sampai tahun ini, Batik Semarang 16 sudah memiliki lebih dari 800 motif yang semuanya sudah didaftarkan hak ciptanya atau terdaftar HAKI





Pendiri batik Semarang 16, Umi S Adi Susilo yang baru saja menerima penghargaan Paramakarya 2015 dari Presiden Joko Widodo, sejak awal sudah berkomitmen untuk membuat Batik dicintai oleh semua kalangan. Oleh karena itu pihaknya sangat terbuka menerima wisatawan yang berkunjung untuk melihat proses pembuatan batik. Sanggar Batik Semarang 16 aktif melakukan pelatihan membatik untuk semua kalangan, berpameran di banyak tempat baik Indonesia maupun luar negeri, serta mengikuti fashion show baik karya sendiri maupun karya para desainer lain. Kini, Umi S Adi Susilo menyerahkan pengelolaan Batik Semarang kepada putri sulungnya, Lia S Adi Susilo sejak bulan Oktober 2012.
‘’Konsep saya ke depan, sanggar ini bisa menjadi referensi bagi yang ingin belajar batik. Lebih jauh lagi, saya berharap bisa menjadi museum batik meski skala mikro,’’ kata Lia S Adi Susilo.


Jumat, 11 Maret 2016

Koarmatim, Monumen Jalesveva Jayamahe, Fleet House

MENELUSURI REKAM JEJAK MARITIM
DI MONJAYA DAN FLEET HOUSE


            BAGI Anda yang tertarik dengan dunia bahari Indonesia beserta sejarahnya, ada satu tempat menarik yang wajib dikunjungi, yaitu Dermaga Ujung di Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya. Di tempat ini, Anda bisa menelusuri rekam jejak dunia maritim Indonesia sekaligus melihat dari dekat salah satu pangkalan utama angkatan laut Indonesia. Ya,  di Dermaga Ujung ini terdapat markas Komando Armada RI Kawasan Timur (Koarmatim) TNI AL yang di dalamnya berdiri Monumen-Museum Jalesveva Jayamahe (Monjaya), dan Museum Armada (Fleet House). 
            Koarmatim sendiri merupakan kawasan terbatas yang tak boleh sembarang orang masuk, karena merupakan wilayah penjaga maritim untuk wilayah timur NKRI.  Namun,  bukan berarti tempat ini tak boleh dikunjungi masyarakat umum. Pada hari-hari tertentu, seperti Hari Armada RI,  Koarmatim mengadakan open house. Seperti pada tanggal 20 Desember 2015, diadakan Naval Base Open Day (NBOD) di mana masyarakat bisa melihat dari dekat kawasan ini, mengunjungi Monjaya, melihat dan naik kapal perang,  serta melihat pameran alutsista.  Begitu juga saat acara pelepasan Sail Journalist Hari Pers Nasional 2016 tanggal 5 Februari 2016 lalu,  sekitar 200 wartawan dari berbagai daerah di Indonesia bisa mengunjungi tempat ini karena pelayaran dengan menaiki kapal perang KRI Makassar 590 diberangkatkan dari Dermaga Ujung.

Salah satu sudut Koarmatim



Aneka jenis kapal perang RI berlabuh


            Pada hari biasa, masyarakat umum bisa masuk ke Koarmatim dan mengunjungi Monjaya serta Fleet House. Syaratnya harus mengajukan surat permohonan yang dikirim dua minggu sebelum kunjungan. Surat ditujukan kepada Pangarmatim dengan tembusan ke Gubernur AAL, Asintel Pangarmatim, Asops Pangarmatim, Asintel Danlantamal III, dan Kepala Dinas Penerangan Koarmatim. Pengurusan  surat izin ini akan lebih mudah diproses jika mengontak langsung ke Dispen Koarmatim. Jika perizinan sudah beres, tinggal memilih jalan masuk  markas Koarmatim. Ada dua akses menuju ke sana, pertama lewat Jalan Perak Timur menuju Jembatan Petekan. Akses yang kedua lewat Jalan Sidotopo.  
            Mengunjungi Koarmatim, Anda akan dibuat kagum dengan tempat yang diresmikan pada tanggal 30 Maret 1985 ini. Di sini, Anda akan mendapati pemandangan laut utara Surabaya, jembatan Suramadu yang membentang menyeberangi selat Madura, serta puluhan kapal perang Indonesia.  Fasilitas yang dimiliki Dermaga Ujung Koarmatim ini ternyata yang terbesar dan terlengkap di Indonesia. Sehingga saat melihat sekeliling Dermaga, Anda akan melihat KCR (Kapal Cepat Rudal), LST (Landing Ship Tank), dan LPD (Landing Platform Dock) terparkir di sana. Anda juga bisa melihat dermaga khusus yang memiliki atap pelindung  yang merupakan rumah bagi kapal selam.

Sudut Koarmatim dilihat dari atas KRI Makassar

            Selain view laut, kapal dan gedung, ada satu  pemandangan menarik, dan biasanya menjadi fokus perhatian pengunjung saat pertama memasuki kompleks Koarmatim, yaitu sebuah patung besar seorang perwira yang berdiri di atas sebuah bangunan bundar. Patung dan bangunan tersebut ternyata merupakan Monumen-Museum Jalesveva Jayamahe (Monjaya) yang menjadi kebanggaan TNI AL.   Monjaya memiliki ketinggian 60 meter dengan rincian, tinggi patung perwira 31 meter dan monumen (gedung bundar) setinggi  29 meter.  
            Berdasarkan catatan,  Monjaya mulai dibangun pada tahun 1990,  menghabiskan dana 27 miliar. Monumen ini diresmikan pada 5 Desember 1996 oleh Presiden Soeharto, bertepatan dengan Hari Armada Ke-5  RI. Dipilihnya areal Dermaga Ujung Surabaya sebagai tempat pendirian monumen ini tidak dapat dilepaskan dari keberadaan tempat ini yang menjadi saksi sejarah atas peristiwa perebutan Kaigun SE 21/24 Butai pada tanggal 3 Oktober 1945 yang ditandai dengan sumpah para Bahariwan Penataran Angkatan Laut (PAL) yaitu  ‘’Saya rela dan ikhlas mengorbankan harta, benda maupun jiwa raga untuk Nusa dan Bangsa’’.
            Sementara itu, nama ‘’Jalesveva Jayamahe’’ sendiri diambil dari slogan TNI AL yang berarti ‘’di laut kita tetap jaya’’. Pematung dan arsitek keseluruhan bangunan ini adalah Drs. Nyoman Nuarta (yang juga membuat patung tembaga Garuda Whisnu Kencana Bali) yang tergabung dalam Nyoman Nuarta Group.   Monjaya tercatat masuk 12 besar dari 37 tempat wisata yang ada di Kota Surabaya, untuk meraih penghargaan The Most Favorite Destination Award 2012. Jumlah pengunjung yang datang ke sini, rata-rata setiap tahun tidak kurang dari 40 ribu orang.

Monumen Jalesveva Jayamahe




            Mendekat  ke Monjaya, Anda  akan melihat dengan  jelas patung perwira yang menatap jauh ke permukaan Laut Jawa (yang kini juga menatap jembatan Suramadu), berdiri tegap dalam balutan seragam PDU 1, tangan kiri memegang pedang kehormatan yang ditumpukan ke lantai.  Sebagai pijakan patung sang perwira adalah gedung bundar empat lantai. Kulit tubuh ’’ perwira’’ terbuat dari tembaga berwarna biru kehijauan.  Saat proses pembuatan, Nyoman Nuarta mencetak tubuh patung ini di bengkel seninya di Bandung dalam bentuk potongan modul. Setelah selesai, dibawa ke Surabaya dan direkatkan satu sama lain. Untuk membuat patung ini, Nyoman mendapatkan 3000 ton tembaga dari PLN, 60 ton dari departemen komunikasi dan sejumlah tembaga bekas luruhan peluru.
            Patung dan bangunan di Monjaya ini disebut-sebut tertinggi kedua di dunia setelah Patung Liberty yang berada di mulut pelabuhan New York yang memiliki ketinggian 85 meter.  Dan, sama halnya dengan Patung Liberty yang berfungsi memandu kapal-kapal untuk masuk Pelabuhan New York, Patung Monjaya juga demikian. Monumen ini bisa menyala dan memandu kapal-kapal memasuki Dermaga Ujung Surabaya.


Monjaya memandu kapal-kapal masuk ke Dermaga Ujung




Penjagaan ketat
            Sementara pada gedung bundar berlantai empat, dindingnya penuh dengan diorama perjuangan bahari selama pra revolusi fisik sampai era tahun 1990-an. Di dalam gedung, Anda bisa melihat lebih dekat replika kapal tempo dulu, foto-foto sejarah revolusi pembebasan Laut Aru, foto kapal perang modern seperti KRI Kakap 881, KRI Katon 810, KRI Alkara 830, KRI Warakas 816, dan replika helikopter perang. Sedangkan dari lantai empat, tempat patung perwira menapakkan kaki, wisatawan bisa memandang lepas ke kawasan dermaga Tanjung Perak. Selain sebagai monumen, gedung ini sekaligus juga difungsikan sebagai executive meeting room.
            Selain patung dan gedung penuh diorama, wisatawan juga bisa melihat gong terbesar di dunia tepat di pelataran Monjaya. Gong berbahan kuningan berlapis antikarat tersebut diberi nama Kiai Tentrem. Bobotnya lebih dari 2 ton  dan berdiameter 6 meter. Gong ini dibuat oleh para perajin rumahan dari Desa Pelemlor, Kabupaten Bantul, Yogyakarta.

Gong Kyai Tentrem
            Monjaya dibuka setiap hari Senin- Jum’at mulai dari pukul 07.00-15.00 WIB. Untuk berkunjung ke Monjaya pengunjung juga diminta untuk berpakaian rapi dan bersepatu.  Di area museum juga terdapat pusat souvenir yang menjual berbagai oleh-oleh mulai dari pakaian, topi, tas, dan sejumlah atribut TNI AL. Jika lapar, pengunjung bisa menuju pujasera yang berlokasi tak jauh dari monumen, hanya sekitar 300 meter saja.

Museum Armada

            Masih di lingkungan Koarmatim,  tak jauh dari Monjaya terdapat Museum Armada atau Fleet House yang juga bisa Anda kunjungi. Menilik bentuknya, museum ini tak ubahnya kapal besar. Jendela berbentuk bulat dengan kaca, dan jeruji besi menguatkan kesan kapal.           
            Museum yang memiliki slogan  “Historia Magistra Vitae” yang bermakna sejarah adalah guru kehidupan ini, berisi berbagai macam koleksi baik benda-benda bersejarah atau foto yang bercerita tentang keberadaan Armada RI, serta perjuangannya, yang dimulai sejak zaman pra kemerdekaan sampai saat ini. Selain itu museum ini juga memiliki teater yang digunakan untuk menyaksikan film dokumenter sejarah armada dan TNI Angkatan Laut.


Fleet House


            Salah satu penghuni Fleet House adalah replika patung kayu Dewarucci, patung telanjang dada bercat warna emas  yang biasa diletakkan di bawah bowsprit tiang cocor bagian haluan atau depan kapal.  Patung Dewaruci itu hanya sebagian kecil objek ”misterius” yang dipamerkan. 


Replika patung Dewarucci
Berbagai koleksi lain berupa peralatan utama sistem persenjataan beberapa dekade maupun catatan sejarah armada angkatan laut tersaji ringkas di sini.  Ruang pamer didesain modern dan dilengkapi benda bersejarah serta keterangan foto. Puluhan alutsista zaman dulu sampai mutakhir ditempatkan di titik-titik strategis. Di antaranya, meriam kuna dari bahan tembaga dan besi produksi abad ke-16 hingga abad ke-18. Koleksi lain adalah beberapa peluru kendali era modern seperti senjata rudal, meriam dan torpedo.



            Untuk diketahui, Fleet House ini dibangun sebagai hasil swadaya pemugaran bekas gedung bulu tangkis yang biasa digunakan prajurit Koarmatim. Proses pembangunan museum mulai dari perencanaan hingga selesai hanya memakan waktu kurang dari empat bulan dan dilakukan secara swadaya. Latar belakang pembangunan museum ini didasari kebutuhan akan sarana sejarah TNI AL yang bisa divisualisasikan dan mudah dipahami keluarga prajurit dan masyarakat umum. Keberadaan Museum Armada ini menjadi bagian integral TNI AL dalam mewujudkan visi 'World Class Navy'.