Minggu, 10 Januari 2016

Blue Fire dan Rumah Penyu Banyuwangi

Berburu Blue Fire dan Bertamu ke Rumah Penyu

            RASA penasaran atas keindahan wisata Banyuwangi, membuat saya dan Ririen, sahabat semasa kuliah, bertekat untuk melakukan petualangan ke kabupaten yang terletak di ujung paling timur pulau Jawa. Saat saya dan Ririen menceritakan niat berpetualang ke Banyuwangi, keluarga dan rekan-rekan sempat tak percaya. Mereka bertanya dengan nada heran, ‘’Wisata ke Banyuwangi? Apa bagusnya? Apa tidak lebih baik ke Bali saja!’’.
            Namun, semua komentar, tak menyurutkan niat untuk mengunjungi Kabupaten berjuluk ‘’The Sunrise of Java’’ ini. Meski tinggal berbeda kota, saya di Semarang dan Ririen di Cilegon, kami sepakat bertemu di meeting point di stasiun kereta api Gubeng Surabaya.  Dari Surabaya kami naik kereta menuju stasiun Banyuwangi.  Sampai di sana, kami sengaja merental mobil dan supir sekaligus sebagai pemandu.
            Banyuwangi merupakan Kabupaten yang memiliki banyak objek wisata alam yang menantang, terutama pantainya yang indah. Sebagai pemanasan, tempat pertama  yang kami kunjungi adalah pantai Pulau Merah di Desa Sumber Agung Kecamatan Pesanggaran yang berada di bagian selatan. Disebut Pulau Merah  karena terdapat sebuah bukit yang menjulang tinggi di ujung pantai. Di bawah bukit tersebut terdapat batuan karang di mana saat matahari mulai ternggelam akan tampak cahaya jingga kemerahan yang muncul dari balik bukit.




            Selain pemandangan sunset yang indah, pantai Pulau Merah juga menjadi tujuan selancar kelas dunia. Memiliki ciri seperti kebanyakan pantai yang ada di Brazil, pantai Pulau Merah mirip dengan pantai Kuta di Bali. Namun, pantai Pulau Merah memiliki ombak yang bergulung lebih banyak sehingga memungkinkan para peselancar untuk menggunakan teknik-teknik surfing yang menantang. Sayang, karena tak bisa berselancar, kami hanya  duduk-duduk dan menikmati sensasi berjemur di atas kursi kayu, melihat ombak, bermain air sembari menunggu sunset. 






Oh iya, sebenarnya kami ingin menginap di rumah penduduk, karena pantai ini terletak di dekat desa nelayan. Namun, kami mengurungkan niat karena keterbatasan waktu dan masih banyak tempat yang ingin kami kunjungi.
            Di hari kedua, kami meningkatkan adrenalin dengan melanjutkan perjalanan ke pantai Sukamade yang berada di kawasan konservasi Taman Nasional Meru Betiri (TNMB). Pantai Sukamade sendiri berjarak sekitar 100 kilometer dari pusat kota Banyuwangi atau membutuhkan waktu kurang lebih 5 jam untuk bisa sampai ke sana. Kebanyakan wisatawan mengunjungi Taman Nasional Meru Betiri dan pantai Sukamade sebagai tujuan utama. Namun, sebelum sampai di sana, wisatawan akan melewati Teluk Hijau, yang biasanya hanya dilihat dari atas bukit saja. Padahal keindahan sebenarnya ada pada pantainya. Karena itulah, saya dan Ririen bertekat melihat dari dekat Teluk Hijau.





            Kami menuju ke sana dengan terlebih dulu mengunjungi pantai Rajegwesi sebagai ‘’gerbang’’ menuju Teluk Hijau. Dari sini, kami naik perahu jukung selama kurang lebih 15 menit. Kami menyewa perahu dengan harga Rp 25 ribu/orang sekali jalan atau Rp 35 ribu untuk pulang pergi. Uji nyali dimulai. Saya sempat ragu menaiki perahu, ada rasa takut dan khawatir melihat ombak besar dan bergulung-gulung. Namun, pemandu menenangkan. Katanya, para nelayan yang membawa perahu jukung sudah tahu bagaimana cara menaklukkan ombak. Selain itu, perahu  jukung yang dilengkapi dengan sepasang cadik yang berfungsi sebagai pelampung ini merupakan perahu paling aman, lincah dan mudah dikendalikan.  Selama menaiki perahu kami diwajibkan mengenakan jaket pelampung.





           


 Dengan perahu ini, kami menyusuri pantai selatan yang terkenal dengan ombaknya yang cukup besar. Perahu terayun-ayun, pakaian kami basah terkena cipratan air laut. Namun, semua itu tak berarti. Karena begitu tiba di Teluk Hijau, kami disuguhi keindahan panorama air laut berwarna hijau dengan hamparan pasir putih,  serta pemandangan asri karena teluk ini dikepung bukit dengan pepohonan yang menghijau.  Suasana yang tenang dan tak terlalu ramai bahkan saat liburan sekalipun, membuat kami bisa menikmati keasrian Teluk Hijau sepuasnya. Dan, kami seperti memiliki pantai pribadi.












            Di ujung barat dan timur terdapat batuan karang yang menambah keeksotisan tempat ini. Di sisi timur terdapat air terjun air tawar setinggi 8 meter dengan debit yang sedang dan biasa dipakai untuk membilas badan selepas berenang di pantai. Ya,  pantai ini memang masih sangat bersih. Demi menjaga keasriannya, pengelola Teluk Hijau memasang papan peringatan agar wisatawan tak membuang sampah sembarangan serta mengotori tempat ini.

Mengintip Penyu Bertelur

            Puas menikmati keindahan Teluk  Hijau, kami melanjutkan perjalanan  ke pantai Sukamade di desa Sarongan Kecamatan Pesanggaran. Karena medan dan jalanan di Banyuwangi cukup menantang, selama berpetualang, kami menaiki mobil 4x4 alias double gardan. Jalur berlumpur dan bebatuan yang kami lewati membuat andrenalin terpacu. Jalanan berkelok serta menanjak bebukitan, batuan terjal dan tanah becek, semuanya sengaja dibiarkan alami agar mereka yang melewati rute ini merasakan sensasi petualangan. Perjalanan menantang ini harus dilewati hampir sepanjang 30 kilometer. Selain dari Banyuwangi, pantai Sukamade dapat dicapai dari Jember yang berjarak sekitar 127 km.
            Untuk bisa mencapai Sukamade, kami harus menyeberang empat sungai besar dan tiga sungai kecil. Menurut penduduk, bila musim hujan tiba beberapa sungai tersebut meluap sehingga membuat kendaraan tidak bisa lewat. Satu satunya jalan adalah menyeberang dengan memakai rakit.  Karena medan yang sulit inilah, membuat pantai ini tidak banyak dikunjungi wisatawan sehingga keasriannya masih terjaga. Pantai Sukamade terutama paling diminati wisatawan mancanegara, karena mereka bisa mengamati penyu bertelur.
            Begitu masuk pantai Sukamade, kami disambut oleh sekelompok macaca dan lutung yang sudah terbiasa dengan pengunjung. Kami kemudian menikmati trekking melintasi hamparan hutan hujan tropis dataran rendah dengan akses jalan setapak. Sepanjang jalur kami menjumpai kumpulan kelelawar besar, kijang, babi hutan, biawak dan berbagai jenis burung termasuk elang laut.  Setiba di Pondok Rafflesia, pusat konservasi penyu Sukamade, kami pun bersiap menyaksikan proses penyu bertelur. Pengamatan penyu dilakukan sekitar pukul 20.00-24.00 WIB. Biasanya, penyu bertelur pada bulan Mei, Juni dan Juli.  Namun, dari hasil pengamatan petugas Taman Nasional Meru Betiri, hampir tiap hari ada penyu yang mendarat di Pantai Sukamade, selama Januari-Desember. Kami berkunjung ke Sukamade pada bulan April 2015, dan bisa mengintip penyu bertelur.




            Pengunjung tidak diperbolehkan menyalakan lampu dan berbuat gaduh saat berada di pantai selama menunggu kedatangan penyu. Ketika ada tanda munculnya binatang laut ini, kami diberi kode lampu senter dari arah lokasi. Petugas memperingatkan agar tidak berdiri di depan lintasan jalan penyu karena akan menyebabkan penyu ngambek. Petugas memperbolehkan kami mengambil gambar tanpa flash dan hanya boleh diambil dari samping dengan bantuan senter. Penyorotan dari depan wajah ibu penyu akan membuat binatang laut itu terganggu dan kehilangan konsentrasi, sehingga membuatnya kembali menuju air laut. Di tempat ini, selain melihat penyu bertelur, para wisatawan juga bisa turut aktif dalam usaha konservasi dengan mengikuti kegiatan pelepasan tukik (anak penyu yang baru menetas) ke laut setelah ditetaskan melalui penetasan semi alami. 

Berburu Dubang

            Setelah menyaksikan penyu bertelur, kami kembali ke Banyuwangi, beristirahat mengumpulkan tenaga yang sudah terkuras selama perjalanan ke Sukamade. Rencananya, esok hari, kami akan melanjutkan petualangan ke Kawah Ijen (Ijen Crater). Untuk mengisi waktu, kami melakukan wisata kuliner. Seorang rekan dari Surabaya mereferensikan makanan khas Banyuwangi yang wajib dicicipi, yaitu Rujak Soto.
            Kami pun mengunjungi Pondok Rujak Soto Murah Meriah, rumah makan sederhana yang ada sejak tahun 1977 di jalan Basuki Rahmat. Makanan rujak soto sendiri berupa pecel lontong yang  kemudian disiram kuah soto kuning lengkap dengan jeroan (usus, babat), juga kikil. Cara makannya ditambah kecap manis, emping, dan kerupuk udang. Rasanya? Perpaduan antara bumbu kacang dan kuah soto menghasilkan sensasi rasa yang unik, gurih dan bertekstur. Harga semangkuk rujak soto cukup beragam. Menu biasa (berisi irisan babat dan usus seharga Rp 10 ribu, irisan ayam Rp 12 ribu dan daging sapi Rp 15 ribu. Ya, dari situ kami baru tahu kalau orang Banyuwangi  ternyata memang suka menggabungkan dua makanan sekaligus, seperti pecel rawon ataupun buntut rawon



            Puas menikmati Rujak Soto, kami penasaran dengan dubang alias durian abang yang daging buahnya berwarna merah.  Kami kemudian memburunya ke Desa Kemiren, tak begitu jauh dari kota Banyuwangi. Kami menuju Gang Duren Abang atau Gang Durian Merah, salah satu gang di desa Kemiren yang banyak dikunjungi wisatawan karena di sana banyak terdapat pohon dubang. Dari salah satu pohon di rumah penduduk, kami membeli dua buah dubang. Harganya cukup mahal sekitar Rp 400 ribu perbuah. Hal ini bisa dimaklumi karena stok dubang cukup langka. Begitu buah yang bernama latin Durio graveolens ini dibuka, menyembul daging berwarna merah, tebal dengan biji kecil, dan rasanya manis. Kadar alkohol dubang ternyata lebih rendah dari durian pada umumnya, serta aroma yang lebih menyengat. Warna merah dari daging buah durian menurut pakar hortikultura, disebabkan oleh perkawinan silang antar varietas dan termasuk faktor genetis. Dan,  konon rasa yang enak, disebabkan karena letak geografis Banyuwangi. Pohon dubang tumbuh di tempat yang cukup mendapatkan garam dari laut yang dihembuskan angin, serta sulfur yang dibawa dari arah Gunung Ijen dan Gunung Raung.



            Sekalian jalan, mumpung berada di Desa Kemiren, kami meminta pemandu untuk mengantarkan ke Sanggar Genjah Arum milik Setiawan Subekti yang merupakan pusat kebudayaan adat Using/Osing, dan tempat workshop kopi. Saat tiba di sanggar, sebuah pertunjukan Othek menyambut kedatangan kami. Othek adalah pertunjukan seni musik yang dilakukan oleh para wanita tua Desa Kemiren. Para pemainnya memukul-mukul lesung dengan tongkat yang biasanya digunakan sebagai penumbuk padi atau kopi. Dari situ muncul sebuah irama yang sangat indah. Selain Othek, kami juga disuguhi oleh pertunjukan tari Barong Kemiren. Bukan hanya Bali, Banyuwangi ternyata juga mempunyai Tari Barong. Bagi masyarakat Kemiren, Barong adalah sebuah simbol kebersamaan seluruh warga desa.




            Kami kemudian berkeliling sanggar yang memiliki 7 rumah adat Osing yang ditata tidak beraturan. Rumah tersebut berusia 100 tahun lebih. Aneka ornamen kuna terpajang di rumah yang terbuat dari kayu dan tahan gempa tersebut. Selesai berkeliling kami mengakhirinya dengn belajar membuat kopi, mulai dari menyangrai, menumbuk, menyaring bubuk kopi hingga cara menyajikan kopi dengan benar sehingga menghasilkan citarasa tinggi. Kemudian kami menghabiskan waktu minum kopi ditemani jajanan khas Banyuwangi seperti tape buntut, bolu kuwuk dan bermacam gorengan.






Pesona Blue Fire

            Setelah mengumpulkan cukup tenaga, saya dan Ririen melanjutkan petualangan ke Kawah Ijen yang terkenal dengan  fenomena api biru (blue fire), sunrise dan sunset yang menawan. Kami berangkat pukul 23.00 WIB.  Dari kota Banyuwangi kami melewati rute menuju Kecamatan Licin yang berjarak 15 km dengan  waktu tempuh sekitar 30 menit. Kemudian melanjutkan perjalanan dari Licin menuju pos pendakian kawah Ijen di Paltuding, berjarak sekitar 18 km. Sekitar 6 km sebelum sampai di Paltuding, kami melewati jalan yang dinamakan tanjakan erek-erek, berupa belokan berbentuk S dan sekaligus menanjak. Lama waktu tempuh perjalanan sekitar dua jam, karena jalanan rusak oleh air hujan maupun truk pengangkut belerang yang lewat setiap hari. Kami sampai di Pos Paltuding sekitar pukul 01.00 WIB.



            Di pos ini, kami melihat puluhan mobil dan ratusan motor diparkir. Terlihat ratusan orang siap melakukan pendakian. Kebetulan kami berkunjung ke Kawah Ijen saat long weekend, sehingga jalur pendakian sangat ramai. Bahkan di pintu masuk pendakian, kami menyaksikan antrean  panjang seperti orang hendak menonton konser musik menunggu pintu dibuka, pada pukul 02.00 WIB. Kami juga menemui banyak turis asing yang sengaja datang untuk memburu fenomena blue fire yang hanya bisa dijumpai di Indonesia dan Islandia. Karena ingin menyaksikan penampakan si api biru, kami harus memulai tur pada tengah malam sampai sebelum matahari terbit dan trekking ke Kawah Ijen mulai pukul 02.00 WIB.  Karena blue fire akan terlihat saat kondisi gelap.
            Kawah Ijen sendiri merupakan salah satu kawah paling asam terbesar di dunia dengan dinding kaldera setinggi 300-500 meter dan ukuran danau kawahnya sekitar 960 meter x 600 meter. Kawah tersebut terletak di kedalaman lebih dari 300 meter di bawah dinding kaldera. Derajat keasaman kawah tersebut sangat tinggi mendekati nol sehingga bisa melarutkan pakaian bahkan tubuh manusia dengan cepat.
            Jalur pendakian Gunung Ijen, meski tak terlalu tinggi, namun cukup terjal. Kontur jalan menuju kawah sangat menantang dan menguras energi. Ditambah dengan lebar jalan yang tak seberapa, sehingga saya dan Ririen harus ekstra hati-hati. Kami belum pernah melakukan  trekking pada malam hari, sehingga kami cukup dihantui ketakutan, membayangkan jalur pendakian yang gelap, melewati pinggir jurang, dan penerangan yang diperoleh dari sorot sinar lampu senter.  Selama pendakian, kami tak mau jauh dari guide yang sudah paham dengan jalur pendakian. Oh iya jangan sekali-kali melakukan pendakian tanpa ditemani pemandu.
Kami membutuhkan waktu berjalan kaki kurang lebih 3 jam menempuh jarak 3 kilometer. Medan pendakiannya, satu kilometer pertama berupa jalan datar, satu kilometer kedua menanjak, dan satu kilometer selanjutnya lebih berat. Di kilometer kedua merupakan rute yang paling berat, karena medan yang harus kami lalui berupa jalan berpasir dan tanjakan yang dilalui memiliki kemiringan sekitar 60 derajat. Di jalur pendakian, hanya ada satu pos untuk istirahat.  Karena kontur jalan yang terjal, banyak pendaki yang kelelahan dan  terlihat terduduk di pinggir jalur pendakian, hal yang sebenarnya sangat tak disarankan saat mendaki karena justru dapat menambah beban pada tubuh.




           

 Sampai di Kawah Ijen, kami mencium bau belerang yang menyengat. Perjalanan belum terhenti sampai di situ, karena sebuah tantangan sesungguhnya baru terhampar di depan mata. Jika masih kuat sebenarnya kami bisa turun mendekati kawah, untuk melihat dari dekat si api biru. Namun, kami memilih tak turun. Selain karena sudah kepayahan, kami ingin memandang api biru dari sudut pandang berbeda.  Benar saja, pemandangan blue fire dari atas sungguh menakjubkan. Tiga titik api biru berkobar, menyala memancarkan semburat warna biru yang luar biasa indah. Uap panas dari kawah membumbung tinggi ke langit. Sorot cahaya senter para turis di sekitar api biru yang menembus tipis uap panas menambah semarak ‘’pertunjukan’’alam.




            Tak hanya api biru, kami juga menikmati keindahan lain yang menakjubkan. Lautan bintang di atas Gunung Ijen membuat langit terlihat cerah. Dan, saat fajar tiba, ketika matahari mulai menyinari kawasan Kawah Ijen, kami kembali melihat pemandangan elok. Matahari bersinar dengan pancaran semburat warna oranye menjadikan kawasan yang tadinya gelap perlahan menjadi terang.  Kawah Ijen mulai terlihat wujudnya. Danau kawah berwarna hijau kebiruan ditambah cahaya matahari yang berwarna keemasan yang memantul di kawah tersebut, menghadirkan pemandangan yang luar biasa indah.




            Oh iya, popularitas Kawah Ijen ternyata bukan hanya blue fire-nya saja. Selama trekking, kami menemui para penambang belerang. Mereka dengan berani mendekati danau untuk menggali belerang dengan peralatan sederhana lalu dipikul dengan keranjang. Para penambang belerang ini mengambil belerang dari dasar kawah. Di sini asap cukup tebal, namun dengan peralatan penutup hidung seadanya seperti sarung, mereka tetap mencari lelehan belerang yang didapat dari pipa yang menuju sumber gas vulkanik yang mengandung sulfur. Gas ini dialirkan melalui pipa lalu keluar dalam bentuk lelehan belerang berwarna merah. Setelah membeku belerang berwarna kuning. Setelah belerang dipotong, para penambang akan memikulnya melalui jalan setapak. Beban yang dipikul cukup berat antara 80 hingga 100 kg. Para penambang sudah terbiasa memikul beban yang berat ini sambil menyusuri jalan setapak di tebing kaldera menuruni gunung sejauh 3 kilometer. Untuk menambah penghasilan, para penambang menjual souvenir berupa cetakan cairan belerang dengan berbagai bentuk, seperti kura-kura, mobil sampai berbentuk pohon, dengan harga mulai Rp 2.000 sampai Rp 10.000.





----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Tips Berwisata Ke Banyuwangi

* Buatlah Daftar Tempat Yang Akan Dikunjungi

Banyuwangi memiliki banyak pantai yang indah, pilih beberapa tempat yang Anda inginkan. Jika Anda ingin surfing bisa memilih Pulau Merah atau G Land (Pantai Plengkung) jika Anda ingin melihat keindahannya dan melihat sesuatu yang unik, bisa memilih Pantai Watu Dodol, Teluk Hijau dan Sukamade. Anda juga bisa memilih lokasi yang ingin Anda kunjungi seperti Cagar Alam Baluran, Taman Nasional Meru Betiri, Agrowisata Kalibendo. Desa Wisata Osing dan sebagainya.

* Perhatikan Budget

Meski biaya selama tur di Banyuwangi tak terlalu mahal, karena harga penginapan, makanan dan sewa mobil yang relatif masih murah, namun perjalanan menuju Banyuwangi cukup mahal. Harga tiket pesawat Jakarta-Banyuwangi misalnya relatif masih mahal. Anda bisa memakai dua moda transportasi, dengan pesawat atau naik kereta. Beberapa kota sudah memiliki rute penerbangan dan kereta api langsung ke Banyuwangu, namun beberapa kota masih harus transit ke Surabaya.

* Siapkan Fisik Dan Stamina Prima

Sebelum menjelajah Banyuwangi pastikan fisik dan stamina prima karena lokasi petualangan yang menantang dan banyak menguras energi. Tidur, istirahat yang cukup, dan siapkn suplemen, terutama sebelum mengunjungi pantai Sukamade dan Kawah Ijen.

* Siapkan Masker, Jaket, Senter. Tongkat Penyangga

Barang-barang penting yang wajib dibawa ke Banyuwangi, terutama saat hendak naik ke Kawah Ijen. Masker berguna untuk menutupi hidung dari semburan asap belerang.  Kacamata untuk melindungi mata dan air minum untuk mengatasi tengorokan yang lengket jika asap belerang masuk ke dalam mulut. Jaket juga wajib dibawa karena udara yang dingin. Senter berguna saat melakukan trekking pada dini hari. Dan tongkat berguna untuk menyangga tubuh saat naik dan turun selama trekking  ke Kawah Ijen.


* Sepatu atau sandal gunung

Kenakan sepatu atau sandal gunung. Memakai sandal jepit atau sepatu kets cukup berbahaya, karena bisa terpeleset saat Anda berada di daerah yang ekstrim dan penuh bebatuan curam.

* Perhatikan Larangan Dan Arahan Dari Petugas Setempat


Dari Pos Paltuding, petugas setempat akan memberikan arahan kepada para pendaki. Salah satunya, pendaki yang punya penyakit asma, jantung dan darah tinggi dilarang untuk mendaki untuk alasan keamanan. 

Jalan-Jalan Seoul Korea Selatan


Mengeksplorasi Secret Garden Hingga Wisata Pinggir Sungai


Jika Anda sedang jalan-jalan ke Seoul, Ibukota Korea Selatan, pastikan mengunjungi kawasan yang sering muncul di drama kolosal dan video klip, yaitu istana Gyeongbokgung dan Changdeokgung, Gwanghwamun Square serta  Cheonggyecheon Stream.


UNTUK tujuan pertama, Anda bisa mengunjungi Gyeongbokgung, istana tertua dan terbesar yang dibangun pada saat pemerintahan Dinasti Joseon (1392-1910). Gyeongbokgung yang berarti ‘’istana yang diberkati oleh surga’’ ini terletak di kaki Gunung Baegak. Untuk sampai ke sini, Anda bisa naik Subway (kereta) menuju Gyeongbokgung Station (Line 3, Exit 5), atau dari Ganghwamun Station (Line 5, Exit 2), lanjutkan berjalan kaki, sekitar 400 meter.



Istana yang pernah menjadi lokasi syuting drama Saranghae, I Love You ini memiliki empat pintu masuk, dari arah timur, barat, utara dan selatan (pintu utama). Jika menilik sejarahnya, istana yang diarsiteki Jeong do jeon  ini pernah hancur pada saat invasi Jepang ke Korea tahun 1592-1598 dan dibangun kembali pada tahun 1860-an dengan 330 buah kompleks bangunan dengan 5.792 kamar. Berdiri di wilayah seluas 410.000 meter persegi, istana ini merupakan simbol keagungan kerajaan dan rakyat Korea. Setelah pembunuhan Maharani Myeongseon oleh mata-mata Jepang pada tahun 1895, Raja Gojong meninggalkan istana ini bersama anggota keluarganya dan tidak pernah kembali.


Arsitektur istana-istana di Korea dibangun selaras dengan alam, termasuk Gyeongbokgung yang dibangun seolah merupakan bagian dari gunung Baegak yang berdiri megah menjadi latar istana ini. Ada tiga lapis pintu gerbang yang harus dilalui untuk sampai ke istana tempat raja bertahta menyelenggarakan pemerintahan yang disebut Geunjeongjeong.  Masing-masing pintu gerbang dibatasi oleh lapangan batu yang sangat luas. Di sisi Geunjeongjeong ada kolam buatan yang besar. Di tengah kolam berdiri paviliun Gyeonghoeru seluas 931 meter persegi, tempat raja mengadakan jamuan. Di belakang Geunjeongjeong juga ada taman yang sangat luas. Di salah satu bagian taman ada kolam buatan lain yang di tengahnya berdiri bangunan serupa kuil yang disebut Hyangwonjeong. Itu adalah tempat raja bersantai untuk membaca, merenung, juga berkencan dengan ratu dan selir-selirnya. Di seberang pintu masuk utara, Anda bisa melihat Blue House, kantor presiden Korea.


Di kompleks Gyeongbokgung juga terdapat dua museum yaitu The National Palace Museum of Korea  dan National Folk Museum. Di National Folk Museum of Korea terdapat sekitar 2.240 artefak dan alat-alat yang digunakan oleh masyarakat Korea pada masa lalu sampai sekarang. Bangunan museum ini didesain mengikuti arsitektur bangunan kuil Buddha terkenal di Korea. Misalnya, bagian depan museum dirancang menyerupai dua buah jembatan batu di kuil Bulguk, dan bagian utama bangunan adalah pagoda kayu lima tingkat yang menyerupai Aula Palsang di kuil Beopju. Sayap bangunan di sebelah timur mengikuti desain Aula Mireuk di Kuil Geumsan dan sayap barat menyerupai Aula Gakhwang di kuil Hwaeom.
Pada sore hari, sekitar pukul 16.00 waktu setempat, di istana ini, Anda bisa menyaksikan prajurit pergantian jaga atau disebut royal guard changing ceremonies. Di depan sebuah pintu gerbang yang amat tinggi dan besar, suara gendang ditabuh satu demi satu dalam ritme yang tetap. Sejumlah lelaki jangkung berbalut hanbok (pakaian tradisional Korea) dengan seragam merah, biru, putih, sambil membawa pedang, tombak dan bendera, berbaris rapi, dipimpin seorang komandan, kemudian menyerahkan tugasnya kepada komandan pengganti. 











Jika Anda ingin mengenakan hanbok seperti para prajurit tersebut, pengelola menyediakan fasilitas gratis berupa peminjaman kostum prajurit Korea. Anda tinggal menunjukkan paspor saja. Anda bisa memilih beberapa model dan warna busana, seperti merah, atau biru. Jika istana ini sedang dipadati pengunjung, Anda harus sabar mengantre. Namun, beberapa petugas terlihat sigap memberi pelayanan dan mengganti pakaian pengunjung kemudian memberikan kesempatan sekitar 5 menit untuk berfoto dengan latar belakang istana Gyeongbok.




Jam buka istana pada bulan Maret-Oktober pukul 09.00-18.00 waktu setempat. sedangkan untuk bulan November-Februari pkl 09.00-17.00. Istana Gyeongbok tutup setiap hari Selasa. Harga tiket masuk 3.000 Won dan setengah harga untuk anak-anak usia 7-18 tahun.

Secret Garden dan Gwanghwamun

Satu kilometer dari Gyeongbokgung, terdapat  satu istana lagi, yang tak boleh Anda lewatkan, yaitu  Changdeokgung, istana megah peninggalan pemerintahan Raja Taejo yang paling terawat hingga kini.  Istana ini lebih lama ditempati. Saat Dinasti Joseon berakhir pada tahun 1910, istana Changdeok dijadikan aset pemerintah dan dibuka untuk umum.  Bersama Benteng Hwaseong, istana Changdeok dilestarikan sebagai Situs Warisan Dunia Unesco pada tahun 1997. Sebagai tempat peristirahatan raja-raja pada tahun 1405, tak heran jika tempat ini didesain dengan begitu indah dan detail. Istana ini terdiri dari 3 bagian utama, yakni area publik, tempat tinggal keluarga raja dan taman belakang yang luas. 
Changdeokgung yang berarti ‘’istana kebajikan gemilang’’ mulai dianggap sebagai tempat yang penting setelah berkuasanya raja ke sembilan Dinasti Joseon, yakni Raja Seongjong. Namun bukan berarti istana ini tanpa melewati cerita yang dramatik karena pada 1592, Changdeokgung terbakar dan keluarga kerajaan memilih meninggalkan istana selama invasi Jepang di Korea. Beruntung, oleh Pangeran Gwanghaegun pada tahun 1611, istana ini dibangun kembali.





Keistimewaan istana ini ada pada penggabungan elemen-elemen arsitektur era tiga kerajaan yakni Kerajaan Goguryeo, Baekje dan Silla yang selaras dengan alam. Elemen pertama yang akan Anda lihat adalah gerbang Donhwa yang merupakan gerbang utama Istana Changdeok yang berarti “gerbang transformasi kebenaran”. Anda juga akan melihat balai Huijeong. Ruangan ini digunakan sebagai tempat berdiskusi raja dengan para menteri.
Bagian istana yang terakhir namun justru yang sering mengundang decak kagum adalah taman belakang atau yang disebut Huwon, sering disebut juga dengan Geumwon (forbidden garden) dan Biwon (secret garden). Taman ini memiliki luas 74 are dan terdiri atas bentang alam berbentuk dataran bergelombang dengan 35 bangunan besar dan kecil, 7 buah kolam buatan serta hutan lebat yang dilengkapi dengan aliran mata air. Dari semua komposisi ini, hanya 1 persen yang dibuat oleh manusia. Itulah mengapa saat Unesco memasukkan istana ini ke dalam situs warisan dunia, mereka menuliskan bahwa taman ini adalah contoh pengecualian arsitektur dan rancangan istana dari timur jauh yang berpadu secara harmonis dengan pemandangan sekelilingnya.  Taman ini ditumbuhi pohon raksasa yang berumur lebih dari 300 tahun. Waktu yang paling istimewa untuk menikmati Huwon adalah pada saat musim gugur di mana dedaunan berubah menjadi warna warni. Di dalam istana, terdapat pula pohon Juniper China yang telah berusia 750 tahun, dan merupakan salah satu pohon tertua di Korea.




Setelah puas berkeliling di dua istana, Anda bisa mengunjungi Gwanghwamun Square, yang  tak jauh dari istana Gyeongbok. Gwanghwamun pertama kali dibangun pada tahun 1395, tetapi hancur karena serangan Jepang pada tahun 1592 dan terbengkalai hingga lebih dari 250 tahun. Pada tahun 1867, gerbang ini pun dibangun kembali pada masa pemerintahan Raja Gojong. Gerbang ini pun berkali-kali mengalami rekonstruksi hingga akhirnya menjadi gerbang megah seperti yang bisa kita saksikan saat ini dan  pada 1 Agustus 2009, resmi dijadikan objek wisata.  Lokasi ini sering muncul dalam berbagai drama, bahkan klip musik juga sering dilakukan di sini. Pada waktu-waktu tertentu juga sering diadakan berbagai festival.








Di Gwanghwamun Square, Anda bisa menemui Patung Admiral Yi Sun-Shin, seorang laksamana yang sangat terkenal jasanya dalam sejarah Korea. Ia meraih kemenangan dalam perang Imjin pada masa Dinasti Joseon melawan Jepang. Tak heran patungnya kini bertakhta di lokasi landmark kota Seoul. Anda juga bisa menjumpai patung Raja Sejong, raja keempat pada masa Dinasti Joseon dan salah satu dari dua raja yang mendapat gelar “The Great”. Ia memerintah pada tahun 1418 hingga 1450. Raja Sejong mencatat banyak prestasi besar semasa kepemimpinannya. Salah satu yang paling utama adalah ia menciptakan aksara Korea yang bernama Hangul. Sebelumnya, masyarakat kelas atas masa itu menggunakan aksara China (Hanja) untuk menulis.




Selain dua patung ‘’pembesar’’ Korea pada masa lalu, Anda bisa mengeksplorasi museum bawah tanah “King Sejong Story” dengan pintu masuknya di bawah patung “King Sejong”. Selain itu terdapat deretan air mancur yang terdapat di bawah patung “Admiral Yi Sun-sin”.

Wisata Pinggir Sungai

Menjelang malam, Anda bisa melanjutkan jalan-jalan ke kawasan Cheonggyecheon Stream atau sungai Cheonggye yang merupakan bagian penting dari sejarah kota Seoul. Cheonggyecheon adalah sebuah aliran sungai kecil sepanjang hampir 11 kilometer di pusat kota Seoul. Pada tahun 1950-an pasca Perang Korea, daerah bantaran Sungai Cheonggye merupakan kawasan permukiman kumuh seperti Ciliwung di Jakarta. Dan pada dekade berikutnya (1960-an-1970-an) menjadi saksi keberhasilan industrialisasi dan modernisasi Korea Selatan.


Sebelumnya, kali ini ditutupi oleh jalan tol, namun kemudian direstorasi, aliran airnya dikembalikan seperti sediakala. Upaya restorasi sungai Cheonggye sempat menghebohkan publik dunia. Proyek  besar ini dimulai dari tahun 2003 sampai tahun 2005 oleh mantan walikota yang menjadi presiden Korea Selatan (2008–2013 ), Lee Myung-bak, dan menghabiskan dana hingga 900 US Dollar
Kini Cheonggye menjelma menjadi tempat rekreasi pedestrian yang super cantik. Sungai itu menjadi indah dengan sentuhan desain arsitektur kelas dunia. Tepian sungai ditata rapi hingga nyaman untuk pejalan kaki. Pada malam hari, cahaya berpendaran di kawasan ini sehingga menambah kesan mewah. Cheonggyecheon Stream pun menjelma menjadi kawasan wisata yang romantis. Banyak pasangan yang melamar atau menyatakan cintanya di sini. Sekitar bulan November ditempat ini diadakan festival lampion yang dikenal dengan Seoul Lantern Festival. Oh iya, Anda bisa sepuasnya menikmati kawasan pedestrian cantik ini tanpa dipungut biaya.




Di tempat ini, Anda juga bisa menemui jembatan Narae, mewakili keindahan kupu-kupu terbang, dan jembatan Gwanggayo, menjadi simbol harmoni masa lalu dan masa depan, yang merupakan dua di antara 20 jembatan indah lainnya yang berfungsi sebagai alat untuk menyeberangi sungai ini. Dinding jembatan dilapisi marmer dan ukiran, dan palseokdam juga menghiasi sungai Cheonggye.




Di sini, Anda juga bisa masuk ke Plaza Cheonggye, area seluas 2.500 meter persegi,  yang berlokasi di hilir sungai Cheonggye. Tempat ini dibuat berdasarkan desain tradisional bojagi (kain pembungkus warna-warni), memperlihatkan keindahan kerajinan batu tradisional.  Plaza Cheonggye tidak pernah tidur sehingga para pengunjung dapat menikmati penampakan indah cahaya dan air setiap malam.   Di plaza ini juga terdapat maket atau model Cheonggyecheon yang membuat pengunjung dapat melihat pemandangan dari sudut pandang seperti burung saat sungai Cheonggye belum dirapikan. Di dalam plaza, terdapat plakat yang memperlihatkan 22 jembatan yang ada di sepanjang sungai, begitu pula dengan sejumlah air mancur yang menambah indah area ini. Setelah menyelesaikan pembangunan Plaza Cheonggye, pemerintah kota Seoul mendesain area itu menjadi zona bebas kendaraan selama liburan, sehingga menjadi tempat yang nyaman bagi pejalan kaki.