Senin, 29 Februari 2016

Taman Narmada, Taman Pura Mayura dan Makam Loang Baloq


MENELUSURI JEJAK PERADABAN DI KOTA MATARAM


            Jika Anda berkunjung ke pulau Lombok, sempatkanlah untuk menjelajah kota Mataram, ibukota provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Kota Mataram sendiri merupakan sentra dari perjalanan wisata di pulau Lombok dan saat ini dikembangkan menjadi salah satu kota pariwisata. Pengaruh adat Sasak dan adat Bali cukup mewarnai masyarakat di kota ini.
            Di Mataram, Anda bisa menemukan beberapa lokasi wisata bernuansa sejarah dan budaya. Salah satunya adalah Taman Narmada yang terletak di Desa Lembuak, Kecamatan Narmada, Lombok Barat, atau sekitar 10 kilometer sebelah timur kota Mataram.  Objek wisata ini bernaung di bawah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan NTB dan telah ditetapkan sebagai benda cagar budaya. Antara kurun waktu 1980-1988, taman ini sudah mengalami beberapa kali renovasi. Beberapa bagian yang sudah lapuk dan rusak, seperti tebing-tebing kolam, taman, pagar, dan pura telah diperbaiki, namun, tetap dipertahankan keasliannya.




            Menurut catatan sejarah, Taman Narmada dibangun tahun 1727 Masehi oleh Raja Mataram Lombok,  Anak Agung Ngurah Karangasem. Pemilihan nama Narmada tidak lepas dari agama Hindu yang dianut oleh raja dan rakyat pada masa itu. Narmada diambil dari kata Narmadanadi, nama sebuah anak sungai Gangga di India yang dianggap suci oleh umat Hindu.
            Desain taman ini dibuat menyerupai struktur Gunung Rinjani dan Danau Segara Anak. Konon, ketika Sang Raja sudah terlalu tua untuk melakukan ritual kurban (Pekelan) ke puncak Gunung Rinjani yang memiliki ketinggian 3.726 meter, Beliau memerintahkan seluruh arsitek kerajaan untuk ‘’membawa’’ Gunung Rinjani ke pusat kota. Akhirnya mereka bersepakat untuk membuat ‘’duplikat’’ Gunung Rinjani yaitu Taman Narmada. Pada masa itu, selain sebagai tempat khusus untuk memuja Dewa Shiwa, taman ini juga diperuntukkan sebagai tempat peristirahatan raja. 
            Di bagian bawah Taman Narmada terdapat tiga kolam yang dialiri oleh sumber mata air jernih. Jumlahnya yang tiga, sama dengan jumlah Danau Segara Anak di puncak Gunung Rinjani. Taman seluas kurang lebih dua hektar ini memiliki  beberapa bagian, seperti Pura Kalasa (Pura Narmada), Bale Petirtan, Bale Terang, Bale Loji, Telaga Kembar, Telaga Padmawangi, Bale Bancingah, Bale Pamerajan dan beberapa bagian lainnya.







            Pura Kelasa merupakan bagian taman yang berada di bagian paling atas. Untuk sampai ke pura ini, Anda harus melewati puluhan anak tangga yang sengaja dibuat agar tampak seolah-olah mendaki Gunung Rinjani. Antara bulan November dan Desember, taman ini akan menjadi pusat ibadah. Para penduduk asli Lombok penganut agama Hindu pada bulan tersebut biasanya merayakan Hari Pujawali dengan menaiki Gunung Rinjani dan melakukan ritual Pekelan dengan melempar barang-barang dan perhiasan kecil untuk menghormati dewa yang menjaga Gunung Rinjani. Namun, bagi yang tidak mampu pergi ke gunung, mereka cukup datang ke Pura Kelasa. 





            Selain Pura Kelasa, tempat  lain yang menarik adalah Bale Petirtan yang sumber airnya berasal dari Gunung Rinjani dan merupakan pertemuan antara tiga sumber mata air, yaitu Lingsar, Suranadi, dan Narmada. Ada kepercayaan bahwa orang yang meminum  dan membasuh wajahnya dengan air di sini akan awet muda.  Menurut Andi, pemandu wisata di taman ini, sebenarnya air di Bale Petirtan mengandung banyak mineral yang bisa menyembuhkan penyakit kulit dan dipercaya juga menyembuhkan orang yang memiliki penyakit maag.  Namun, dari dulu orang lebih percaya bahwa air di sini bisa membuat orang awet muda.


            Tak ada salahnya Anda mencoba khasiat air yang ada di dalam ruangan sebesar 5x5 meter. Yang pasti, saat Anda membasuh muka, rasa dingin  dan segar akan terasa dan menjalar di wajah. Untuk masuk ke tempat ini, Anda diminta mengenakan selendang di pinggang dan melepaskan alas kaki. Wanita yang sedang menstruasi dilarang masuk. Di dalam ruangan ada tokoh agama setempat yang tugasnya mendoakan orang yang datang. Bagi pengunjung yang ingin bersembahyang (umat Hindu) di Bale Petirtan, akan dikenakan pembayaran Rp 50 ribu sebagai ganti uang banten, yang akan disiapkan penjaga. Apabila pengunjung tidak memiliki banyak waktu dan tidak sempat bersembahyang, bisa membeli air tersebut dengan harga Rp 10 ribu per jerigen kecil. 



            Bangunan lain yang ada di taman ini adalah Bale Terang berbentuk rumah panggung yang terdiri atas ruang bawah yang berfungsi sebagai gudang. Bagian atasnya terbagi atas tiga bagian, yakni dua bagian pada ujungnya (utara dan selatan) sebagai tempat tidur raja. Sementara, ruang tengahnya merupakan area terbuka sebagai tempat raja melihat pemandangan ke arah timur menuju arah meru. Bukan hanya meru, dari Bale Terang pengunjung pun dapat dinikmati kolam berair bening dan di kejauhan terlihat pepohonan berbunga merah tua, yang menghembuskan aroma segar khas bunga-bunga hutan. Selain Bale Terang, juga terdapat Bale Pawedayan yang berfungsi sebagai tempat membaca kitab Wedha dan Bale Loji, yakni bangunan rumah yang memiliki serambi terbuka, berfungsi sebagai tempat peristirahan raja dan permaisuri. 




            
Tiket masuk ke Taman Narmada ini cukup murah, Rp 5 ribu. Begitu juga jika wisatawan ingin merasakan air dingin menyegarkan di kolam pemandian, akan diwajibkan membayar Rp 5 ribu per orang.

Taman Pura Mayura

            Selain Taman Narmada,  di Mataram ada tempat lain yang juga eksotis, yaitu Taman Pura Mayura yang berlokasi di dekat komplek bisnis dan pertokoan di daerah Cakranegara. Perjalanan ke pura ini hanya sekitar 15 menit dari pusat kota.  Taman Pura Mayura merupakan saksi keberadaan kerajaan Singasari dan orang-orang Bali di Lombok pada abad ke-19, dibangun oleh Raja Anak Agung Made Karangasem sekitar tahun 1744. Pada mulanya area taman ini bernama Taman Kelepug. Nama tersebut diambil dari suara “klepug… klepug… ”, yaitu suara aliran air dari mata air yang jatuh ke kolam. Nama tersebut kemudian diganti ketika taman direnovasi oleh Raja Anak Agung Ngurah Karangasem (yang juga membangun Taman Narmada), sekitar tahun 1866.





            Nama Mayura diambil dari bahasa Sansekerta yang berarti burung merak. Pada waktu itu, masih terdapat banyak ular yang berkeliaran sehingga meresahkan masyarakat yang hendak berdoa di pura. Beberapa penasihat kemudian menyarankan agar di dalam taman dan pura ditempatkan burung merak. Keberadaan burung merak memang cukup membantu dalam mengusir ular-ular  yang datang sehingga masyarakat dapat berdoa dengan tenang. Sejak saat itu, nama “Mayura” mulai dipakai dan dikenal.
            Ketika menginjakkan kaki di Taman Mayura, Anda akan merasakan kombinasi suasana yang unik, antara suasana alam yang asri, suasana religius, dan nuansa sejarah. Wilayah taman ini terdiri dari dua bagian, yaitu area taman dan area pura. Di area taman, Anda akan mendapati taman yang tertata rapi. Di sini Anda akan merasakan kedamaian yang alami. Di sekeliling taman dipagari oleh pohon-pohon manggis, dengan rumput hijaunya yang subur terawat. Di taman ini Anda juga akan menemui sebuah kolam yang di tengahnya berdiri sebuah bangunan. Bangunan tersebut bernama “Rat Kerte”, sering disebut sebagai “Gili” (dalam bahasa Sasak berarti “pulau kecil”). Rat Kerte atau Gili tersebut dulunya sering dipakai sebagai tempat untuk berkumpul, melakukan pertemuan atau rapat, serta untuk menerima tamu kerajaan.



            Di dalam Rat Kerte, Anda akan menjumpai patung-patung yang bercirikan muslim, oriental, dan jawa. Patung yang mencirikan muslim berada di bagian barat, timur dan utara Rat Kerte, bersebelahan dengan bangunan linggih yang kental corak Hindu Balinya.
            Sementera itu, di pinggir kolam yang mengelilingi Rat Kerte, kerap ditemui beberapa pengunjung yang memancing. Selain itu, ada juga yang mencoba beberapa ritual seperti melempar koin ke dalam kolam atau ritual memanggil ikan keramat yang dipancing dengan telur asin yang berbau sangat amis.
            Menurut penjaga pura atau pemangku, ‘’roh’’ dari area  taman ini sebenarnya terletak di komplek pura yang berada di hulu kolam. Namun komplek tersebut biasanya luput dari mata para pengunjung. Karena perhatian para pengunjung lebih kepada luasnya area taman yang indah. Menginjak ke komplek pura, Anda bisa menemui empat pura utama. Seperti Pura Gunung Rinjani, Pura Ngelurah, Pura Padmasana, dan Pura Gedong. Pura Gedong sering digunakan untuk peribadatan umat Hindu, bahkan dari berbagai penjuru dunia. Karena hal tersebut, Pura Gedong juga memiliki nama lain, yaitu Pura Jagad Nata yang merupakan pura terbesar ketiga di Indonesia setelah Pura di Borobudur, Jogjakarta dan Pura Bedugul di Bali. Di sekitar pura terdapat pohon beringin. Menurut kepercayaan, pohon beringin bukan hanya mengandung unsur mistis namun juga merupakan pertanda suatu tempat akan makmur, jaya, serta selalu aman sentosa.





            Komplek pura ini tidak hanya dikunjungi oleh umat Hindu saja. Siapapun boleh masuk ke area pura untuk melihat-lihat serta mengetahui sejarahnya. Hanya pada waktu-waktu tertentu, area pura ditutup untuk umum. Seperti pada perayaan Galungan, perayaan Kuningan, serta hari raya umat Hindu lainnya. Jika Anda ingin mengetahui lebih banyak tentang kompleks pura serta Taman Mayura ini, Anda bisa menanyakannya pada pemangku di Bale Pawedan.



            Jika mengunjungi taman ini, Anda harus mengenakan selendang kecil panjang berwarna merah. Setiap pengunjung harus mengikatkan selendang ini di pinggang. Tiket masuk ke Taman Mayura Rp 10.000/orang. Di sini, pengunjung akan ditawari menggunakan jasa guide atau tidak.

Makam di Lubang Beringin





            Puas menelusuri jejak sejarah di Taman Narmada dan Taman Pura Mayura, Anda bisa melanjutkan wisata sejarah dan religi ke kompleks makam Loang Baloq yang berada di Kelurahan Tanjung Karang, Kecamatan Ampenan atau sekitar 6 kilometer dari Mataram.  Anda dapat dengan mudah menuju tempat ini karena dilalui oleh jalan lingkar Mataram yang sudah beraspal. Anda bisa naik kendaraan umum atau menyewa mobil.
            Loang Baloq sendiri dapat diartikan sebagai lubang buaya karena dulunya tempat makam tersebut adalah sungai besar yang banyak didiami bebaloq atau buaya. Sementara dalam bahasa Sasak, Loang Baloq berarti pohon beringin yang berlubang. Ya, area ini memang ditumbuhi sebuah pohon beringin yang konon sudah berumur ratusan tahun. 


            Makam Loang Baloq adalah kawasan pemakaman yang di dalamnya terdapat puluhan jasad yang dimakamkan di sana. Makam yang kerap dikunjungi peziarah adalah milik Maulana Syech Gaus Abdurrazak,  Anak Yatim dan Datuk Laut. Syech Gaus Abdurrazak adalah pendakwah Islam dari Baghdad Irak yang menyebarkan Islam di Palembang dan kemudian ke Lombok sekitar 18 abad lalu. Setelah dari Palembang, Syech Gaus meneruskan perjalanan dan mendarat di pesisir pantai Ampenan, Mataram. 




Setelah sampai, ia memberikan petuah-petuah yang bersumber pada ajaran Islam kepada masyarakat setempat. Makam Syech Gaus Abdurrazak inilah yang berada di lubang tepat di bawah pohon beringin berbentuk persegi panjang dengan lubang di tengah, tempat di mana para peziarah biasanya menaburkan bunga. Untuk masuk ke dalam makam lubang akar beringin yang lantainya sudah berkeramik ini, ada pintu masuk dan di sana disiapkan air untuk peziarah mencuci kaki, berwudlu ataupun menyiramkan air ke atas makam.
            Sementara itu, makam Anak Yatim berada di samping bagian luar makam Maulana Syech Gaus Abdurrazak dengan ukuran yang relatif lebih kecil. Di samping makam ini, terdapat makam Datuk Laut dengan bangunan permanen berukuran 3 x 4 meter berkeramik warna hitam.




            Tidak hanya berziarah, pengunjung yang datang ke kompleks makam ini juga menggelar sejumlah ritual seperti potong rambut anak yang masih balita atau disebut dengan Ngurisang. Peziarah biasanya juga menyampaikan nazar dan berdoa di makam. Bagi yang menyampaikan nazar tertentu, mereka selalu mengikatkan sesuatu ke akar gantung pohon beringin.  Jika nazar mereka dikabulkan, mereka akan kembali lagi ke tempat itu dan membuka ikatan serta membayar nazar yang sudah disampaikan. Tradisi dan kebiasaan ini disebut dengan Saur Sesangi.  Kompleks ini ramai dikunjungi warga saat Idul Fitri hingga perayaan lebaran topat, tujuh hari setelah Idul Fitri dan perayaan Maulid Nabi.



            Sayangnya, potensi wisata makam Loang Baloq belum dimaksimalkan. Padahal setiap hari, ratusan bahkan ribuan peziarah datang ke makam ini. Sejauh ini tidak ada tour guide yang bisa menjelaskan sejarah tentang makam tersebut. Hanya ada sedikit informasi  melalui papan yang memberikan penjelasan terkait makam. Penataan areal makam juga terkesan tidak rapi. Para pedagang dibiarkan memenuhi sekitar area makam tanpa adanya penataan. Penataan area parkir juga kurang baik sehingga membuat para peziarah memarkir motor dan mobilnya di badan jalan.


Sabtu, 27 Februari 2016

Desa Sade Lombok



Menyaksikan Kearifan Lokal Suku Sasak
di Desa Sade



            
Jika Anda mengunjungi Pulau Lombok, sempatkanlah mengunjungi Desa Sade atau Sade Village yang berada di Rembitan, Pujut, Lombok Tengah.  Sade merupakan desa wisata yang menawarkan pengalaman unik kepada wisatawan untuk melihat dari dekat kehidupan suku Sasak, suku asli yang mendiami Pulau Lombok.  Lokasi Desa Sade tidak jauh dari Bandara Internasional Lombok (BIL), terletak persis di pinggir jalan raya antara Praya-Kuta, atau sekitar 30  km dari kota Mataram. Apabila menggunakan kendaraan,  tempat ini dapat ditempuh dalam waktu satu jam perjalanan.



            Begitu Anda tiba di kawasan Sade, atmosfer desa tradisional langsung menyapa. Di area parkir mobil dan motor yang berada di tepi jalan,  terdapat plang berbentuk rumah adat Sasak bertuliskan  ‘’Welcome to Sasak Village, Sade, Rembitan, Lombok’’. Tak jauh dari sana, beberapa pemuda pemandu wisata, berdiri menyambut, siap mengantarkan pengunjung untuk berkeliling desa. Dari tempat parkir, Anda mesti menyeberangi jalan untuk memasuki area perkampungan Sade.




Melangkahkan kaki melewati gapura desa, sebelum masuk lebih jauh, Anda akan diminta mengisi buku tamu dan memberikan sumbangan seikhlas hati untuk perawatan desa. Kawasan perkampungan Sade ini terdiri dari gang-gang sempit dengan jalan yang naik turun atau split level. Karena itulah, Anda harus berjalan kaki untuk mengelilingi dan melihat-lihat keadaan di desa ini. Saat memasuki kampung, Anda akan disambut dengan untaian kain berjajar rapi dan aneka cinderamata khas Lombok yang dipajang untuk dijual, hampir di setiap rumah yang ada di desa ini.   





Dimin, pemandu wisata yang merupakan warga setempat menceritakan sejarah dan seluk beluk Desa Sade yang memiliki luas lebih kurang 6 hektar dan ditinggali sekitar 150 kepala keluarga.  Ya, hanya ada 150 rumah yang  di sana karena pemerintah daerah setempat bersama-sama dengan pemangku adat desa memang mempertahankan keaslian adat istiadat lokal di desa ini. Menurut peraturan desa, warga tidak boleh membangun pemukiman baru lagi di Desa Sade. Perkampungan ini berdiri sejak 1907, dan pada tahun 1979 dibuka menjadi tempat wisata.





Yang menarik dari keberadaan kampung ini adalah rumah adat suku Sasak yang terbuat dari kayu dengan dinding dari anyaman bambu, beratapkan daun rumbia atau daun alang-alang kering, kuda-kuda atapnya memakai bambu tanpa paku. Lantai dari rumah dibuat dari campuran tanah, getah pohon dan abu jerami yang kemudian diolesi dengan kotoran kerbau. Meski setiap rumah memiliki bentuk yang sama, tetapi dibedakan berdasarkan fungsinya, yaitu Bale Tani, Jajar Sekenam, Bonter, Kodong, Beleq, Berugag, Tajuk dan Bencingah. Bale Bonter merupakan rumah yang dimiliki oleh pejabat desa. Bale Kodong ditinggali warga yang baru menikah atau orangtua untuk menghabiskan masa tua, dan  Bale Tani yang digunakan sebagai tempat tinggal. Sementara Berugag merupakan sebuah bangunan panggung berbentuk segi empat yang tidak memiliki dinding, berfungsi sebagai tempat untuk menerima tamu, dan juga digunakan sebagai tempat untuk bersantai atau untuk pertemuan internal keluarga.




Anda bisa melihat lebih detail Bale Tani yang merupakan rumah tempat tinggal. Griya tradisional ini memiliki teras rendah dengan tangga tiga buah. Semua itu memiliki filosofi, teras rumah yang rendah mengandung maksud agar tamu merunduk saat masuk dan keluar rumah. Yang melambangkan supaya kita ingat kepada Yang Maha Kuasa, ingat kepada orang tua. Keunikan yang lain dari Bale Tani adalah pintu untuk keluar masuk rumah hanya ada satu, yaitu di bagian depan rumah. Tinggi pintu rumah hanya setinggi ukuran orang dewasa bahkan lebih rendah lagi. Sehingga untuk memasuki rumah ini, Anda harus membungkukkan badan agar kepala tidak terbentur bagian atas pintu.








Rumah suku Sasak ini begitu sederhana, berukuran sekitar 7 x 5 meter dan dibagi menjadi dua ruangan, yaitu bale luar dan bale dalam.  Bale luar adalah area untuk menerima tamu sekaligus ruang tidur bagi laki- laki.  Meski dipergunakan untuk menerima tamu, namun, jangan Anda bayangkan ada seperangkat meja kursi tamu di bale luar  






Di ruang ini, Anda hanya akan menemui tempat tidur dan lemari serta beberapa barang-barang lainnya. Sementara itu,  bale dalam letaknya di belakang dari bale luar dan dihubungkan oleh anak tangga.  Untuk mencapai pintu masuk ke bale dalam yang ukurunnya lebih mini lagi dibandingkan dengan ukuran pintu masuk rumah, Anda harus menapaki 3 anak tangga.  Jumlah anak tangga ini pun tidak sembarangan dan memiliki arti tersendiri.  Menurut Dimin, jumlah anak tangga itu sesuai dengan filosofi  ‘’Wetu Telu’’ di mana menurut kepercayaan suku Sasak hidup manusia itu termaknai dalam 3 tahapan yaitu lahir, berkembang dan mati.  Sementara, bale dalam adalah ruang yang lebih privasi. Di sini terdapat tungku untuk memasak dan ruangan tidur untuk perempuan yang juga digunakan untuk ruangan melahirkan.  Bale dalam tidak memiliki jendela dan penerangannya hanya berasal dari lampu  yang terletak di pojok ruangan.






Dimin menceritakan, salah satu keunikan dari perawatan lantai Bale Tani adalah dengan menggosok lantai dengan kotoran kerbau yang masih baru, dicampur sedikit air. Kemudian setelah kering disapu dan digosok dengan batu.  Meski demikian, di dalam rumah ini tidak tercium bau menyengat dari kotoran kerbau tersebut. Menurut  Dimin penggunaan kotoran kerbau ini berfungsi untuk membersihkan lantai dari debu, memperkuat lantai, serta menghangatkan rumah di malam hari. Masyarakat Sasak percaya bahwa kotoran kerbau tersebut dapat mengusir serangga sekaligus menangkal serangan magis yang ditujukan pada penghuni rumah.
            Di tengah-tengah perkampungan, Anda akan menjumpai lumbung padi khas suku Sasak atau disebut berugag. Berugag inilah yang menjadi ikon di setiap bangunan pemerintah yang terdapat di Pulau Lombok.  Berugag berfungsi sebagai tempat penyimpanan hasil bumi dan bagian bawah bangunannya yang tidak berdinding sering dipergunakan oleh masyarakat setempat sebagai tempat untuk berkumpul. Di desa ini juga terdapat bangunan  masjid, dan balai pertemuan yang letaknya tidak jauh dari pintu gerbang desa. 



            Dulu, penduduk Desa Sade menganut Islam Wektu Telu (hanya tiga kali salat dalam sehari). Tapi sekarang, banyak penduduk yang sudah meninggalkan Wektu Telu dan memeluk Islam sepenuhnya, Di desa yang hampir sebagian besar penduduk desa, baik laki-laki dan perempuan mengenakan sarung ini, juga memiliki budaya kawin lari. Orang Sasak tidak mengenal lamaran sehingga untuk menikah si pria harus membawa lari si perempuan. Kawin lari ini dilakukan, ketika pasangan ingin menikah. Si laki-laki membawa kabur perempuan selama dua sampai tiga malam tidak boleh diketahui keluarga perempuan. Kemudian ada utusan keluarga laki-laki yang menjelaskan ke orang tua perempuan, sebagai bentuk permintaan anak perempuannya akan dinikahi. Dimin menambahkan anak gadis yang dinikahkan di Desa Sade rata-rata berumur 16-17 tahun, atau rata-rata lulusan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Dan, salah satu syarat perempuan Sade bisa menikah, harus bisa menenun. Jika tidak bisa maka tidak boleh menikah. Sementara, untuk laki-laki di Desa Sade masih ada yang berpendidikan SMA, namun kebanyakan tetap bekerja sebagai petani di desanya.
Sebagian besar warga Desa Sade hidup dari kegiatan bertani, menjadi pengrajin kain tenun ikat khas Lombok dan pengrajin cinderamata. Di tempat ini, Anda bisa melihat  dari dekat proses pembuatan kain tenun ikat dan proses pemintalan benang yang dikerjakan oleh warga setempat. Semua warga perempuan di desa Sade memiliki keahlian menenun. Mereka biasanya memulai menenun setelah bekerja di sawah ataupun ladang. Perempuan Sasak bisa menghabiskan waktu satu bulan untuk menenun songket. Sementara untuk ukuran yang lebih kecil, seperti taplak meja atau sajadah, hanya membutuhkan waktu satu minggu. Tenun Sasak memiliki banyak motif, di antaranya Sabuk Antang, Subhanala, Tapok Kemolo, dan Ragi Genep.









Namun, dalam perkembangannya, saat ini ada beberapa produk buatan luar desa yang dijual di Sade, seperti tas. Bahan tas sebenarnya berasal dari tenun karya warga Sade. Namun karena tidak ada mesin jahit di Desa Sade, kain tersebut dijahit di luar. Semua produk kerajinan tenun penduduk Sade dihargai bervariasi, mulai puluhan sampai ratusan ribu, tergantung jenis dan ukuran. Selain tenun,  Anda juga akan mendapati aneka aksesoris buatan warga setempat seperti kalung, gelang ataupun wadah perhiasan yang bisa Anda jadikan sebagai oleh - oleh dari Lombok. Beberapa motif yang sering menghiasi aksesoris tersebut biasanya berupa cicak, yang merupakan simbol keberuntungan menurut masyarakat setempat.