Rabu, 18 April 2018

Lobang Jepang Bukittinggi


Misteri Lobang Jepang Bukittinggi



            Dari Taman Jam Gadang, Anda bisa melanjutkan perjalanan ke Lobang Jepang. Masyarakat Sumatera Barat menyebut gua dengan nama lobang. Di bawah permukaan Kota Bukittinggi terbentang terowongan yang dibangun Jepang dengan panjang enam kilometer. Itulah mengapa  bangunan di Bukittinggi tak ada yang tinggi karena ditakutkan jika dibangun terlalu tinggi, pondasi bangunan akan bertemu dengan Lobang Jepang dan ambruk.
            Lobang Jepang ini merupakan salah satu lubang yang terpanjang di Asia mencapai lebih dari 6 kilometer dan beberapa tembus di sekitar kawasan Ngarai Sianok, Jam gadang yang terletak di samping Istana Bung Hatta, dan juga di Benteng Fort De Kock yang masuk di wilayah Kebun Binatang Bukittinggi.


            Saat ditemukan pertama kali pada awal tahun 1950, pintu Lobang Jepang hanya 20 cm dengan kedalaman 64 meter. Lalu setelah dikelola dan dibuka secara umum oleh pemerintahan setempat pada tahun 1984, mulut lubang tersebut dibuat lebih nyaman untuk dilalui. Sayangnya dinding telah ditutup semen dan di bagian dalam juga banyak divariasikan untuk memasang panel listrik sehingga kehilangan bentuk aslinya.  Lobang Jepang saat ini dibuka untuk umum sebagai tempat wisata, dengan total panjang 1,5 kilometer yang dapat dijelajah wisatawan. Selebihnya ditutup pemerintah setempat.
            Pintu masuk Lobang Jepang berada di Taman Panorama yang memiliki pemandangan Ngarai Sianok. Biasanya wisatawan akan ditemani pemandu yang akan menarik biaya sekitar Rp 60.000 dan akan keluar melalui lubang di ujung lain. Namun jika Anda tidak ditemani oleh pemandu, biasanya Anda perlu memberikan sedikit tips kepada mereka untuk membuka jika tidak ingin kembali ke pintu masuk dan melewati tangga yang mencapai 132 anak tangga.




            Konon saat pembangunan Lobang Jepang tak ada masyarakat Bukittinggi yang tahu.  Pembangunan gua ini berlangsung selama kurang lebih tiga tahun, dari tahun 1944. Konon pembangunannya memang dirahasiakan oleh Jepang dan dilakukan di malam hari. Para pekerja paksa Lobang Jepang rata-rata adalah pekerja paksa dari daerah Jawa. Ini dilakukan agar para pekerja tak bisa kabur karena tak tahu medan setempat.




            Ada 21 lorong di Lobang Jepang yang dahulu memiliki banyak fungsi, seperti barak tentara, ruang sidang, kamar komando, pintu penyergapan, pintu pelarian, sampai dapur pembantaian. Lobang tersebut dibuat atas instruksi Letjen Moritake Tanabe Panglima Divisi ke 25 Angkatan Darat Balatentara Jepang. Lubang perlindungan tersebut, konon mampu menahan letusan bom seberat 500 kg. ****

Jam Gadang Bukittinggi


Jam Gadang, Kembaran Jam Big Ben?




            Dari rumah masa kecil Bung Hatta, Anda bisa melanjutkan perjalanan menuju ke lokasi ikonik Kota Bukittinggi, yaitu Taman Jam Gadang di pusat Kota Bukittinggi.  Taman tempat berdirinya  Jam Gadang ini sebenarnya bernama Taman Sabai Nan Aluih yang berada di antara Pasa Ateh dan Istana Bung Hatta yang terletak di atas Bukit Kandang Kabau.
            Berada persis di tengah kota, Jam Gadang merupakan bangunan semacam tugu dengan tinggi 26 meter yang denah bangunan dasar berukuran 13x4 meter berdesain khas Eropa, zaman kolonial.  Tugu yang berpucuk bulatan jam berdiameter 80 sentimeter dengan dasar putih dan jarum jam klasik warna hitam ini, unik, karena angka jamnya berhuruf Romawi, tetapi penunjuk angka empatnya tertulis “IIII”, bukan “IV”. Masih misteri kenapa angka itu ditulis demikian, dan tak ada pula yang ingin mengubahnya. Sepertinya, biarlah itu jadi ciri khasnya.
Beberapa tulisan sejarah mencatat tugu Jam Gadang dibangun tahun 1926 setelah Ratu Belanda menghadiahi mesin jam ini kepada Controleur  atau Sekretaris Kota Bukittinggi waktu itu, Rook Maker. Dua orang arsitek setempat, Yazin dan Sutan Gigi Ameh menyelesaikan tugu yang pembangunannya menghabiskan dana 3.000 Gulden itu. Pembuat mesin jam ini justru bukan orang Belanda, tetapi orang Amerika.


            Bentuk atap tugu Jam Gadang telah mengalami tiga perubahan. Pada zaman Belanda, atapnya berbentuk bulat dengan patung ayam jantan di atasnya. Pada waktu Jepang berkuasa, atapnya diganti berbentuk seperti rumah-rumah Jepang. Setelah kemerdekaan Indonesia diproklamirkan, bentuk atapnya diubah menjadi bergonjong empat seperti atap rumah adat Minangkabau dan bermotif pucuk rebung. Bentuk yang dipertahankan sampai saat ini.
            Satu lagi cerita yang hanya dibicarakan dari mulut ke mulut, bahwa mesin jam yang dibuat  Vortmann Relinghausen hanya 2 di dunia. Yaitu Jam Gadang, dan  kembarannya adalah menara jam Big Ben, ikon ibukota Inggris, London. Dulu, wisatawan seringkali naik ke menaranya, namun kini hanya mereka yang telah minta izin tertulis, bisa naik dan memandang keindahan kota Bukittinggi dari atasnya. Mungkin mempertimbangkan bangunan ini sudah berumur tua.  Dari puncak menara Anda dapat menikmati dan menyaksikan betapa indahnya alam di sekitar kota Bukittinggi yang dihiasi Gunung Merapi, Gunung Singgalang, Gunung Sago dan Ngarai Sianok. Waktu kebakaran besar di Pasar Ateh beberapa puluh tahun lalu, polisi Bukittinggi naik ke atas menara Jam Gadang untuk memantau keadaan dan mencari asal api.
            Setiap bulan Ramadan, dari Jam Gadang  terdengar suara sirine penanda waktu berbuka puasa. Sekarang, di pelataran Jam Gadang ada pertunjukan berbagai tari dan kesenian khas Minang setiap malam Minggu. Lengkaplah sudah keramaian seputar Jam Gadang.Satu lagi sasaran kegemaran wisatawan di sini adalah naik Bendi, kereta berkuda yang dikemudikan sais. Sangat menyenangkan naik Bendi melihat atau menuju tempat wisata lain di sekitarnya seperti Lobang Jepang, Benteng Fort de Kock, Panorama Ngarai Sianok atau Rumah Kelahiran Proklamator Hatta. Berapa tarifnya? Kalau Anda bisa berbahasa Minang, Anda akan segera diberi tarif  lokal Rp.20.000. Tetapi kalau di musim liburan ditambah kita berbahasa Indonesia, maka tarifnya bisa sampai Rp.50.000.

Rumah Kelahiran Bung Hatta Bukittinggi


Mengunjungi Kamar Bujang Bung Hatta



            Setelah melihat keindahan alam Ngarai Sianok, Anda bisa melanjutkan berwisata sejarah dengan mengunjungi Rumah Kelahiran Bung Hatta yang berada di Jalan Soekarno-Hatta No. 37. Sesuai namanya, rumah ini merupakan tempat di mana Bung Hatta dahulu dilahirkan dan tinggal di sana sampai berusia 11 tahun. Pada usia itu beliau pergi ke Padang guna meneruskan pendidikan di Meer Uitgebred Lager Onderwijs (MULO). Bung Hatta tinggal di rumah kelahirannya dari tahun 1902-1913, bersama ibu, kakek, nenek dan pamannya. Rumah Kelahiran Bung Hatta ini memang rumah milik sang nenek. Karena itu di sana ada kamar Mamak Idris, ada kamar bujang, ruang baca, serta perabotan rumah yang kebanyakan asli. 
          Tampak depan Rumah Kelahiran Bung Hatta terlihat cukup asri. Griya dua lantai  ini sebagian besar materialnya berupa bilah-bilah papan kayu. Sebagian dinding rumah terbuat dari anyaman bambu yang kuat. Sebuah papan memberitahu pengunjung bahwa rumah ini dari Senin s/d Minggu, mulai pukul 08.00 pagi. Pemugaran rumah diprakarsai oleh Azwar Anas dan pemda setempat, dimulai pada awal 1995 dan diresmikan pada 12 Agustus 1995, bertepatan dengan hari lahir Bung Hatta.
            Setelah mengisi buku tamu, Anda bisa masuk ke ruang utama. Di dalam rumah terdapat cukup banyak dokumentasi foto yang ditempel pada dinding ruangan. Ada foto Syekh Djamil Djambek, guru agama Bung Hatta. Beberapa benda peninggalan keluarga juga disimpan di rumah ini, seperti mesin jahit tua milik sang  nenek.  Perabotan kayu Rumah Kelahiran Bung Hatta dibuat dari kayu surian (sejenis kayu jati) semuanya masih asli, demikian juga lampu dan karpet. Hanya tikar yang telah diganti baru, namun, disamakan  jenis dan bentuk aslinya.


            Dari pintu depan rumah, di sebelah kiri ruang tamu, Anda bisa melihat sebuah kamar yang berisi satu buah dipan dan meja. Inilah kamar bujang Bung Hatta. Kamar ini menghadap ke halaman dan jalan. Sementara Bung Hatta sendiri dilahirkan pada 12 Agustus 1902 di sebuah kamar di lantai 2. Si Bung, putradari pasangan H. Muhammad Djamil dan Saleha ini merupakan keturunan kedua dari Syech Adurrachman, atau Syech Batuhampar. Di dalam Rumah Kelahiran Bung Hatta Bukittinggi ada pula dipasang bagan silsilah keluarga, baik dari pihak Ibu maupun pihak ayah Bung Hatta.



            Pada sebuah bagian dinding terlihat dokumentasi foto saat Bung Hatta masih berumur 10 tahun dan sedang duduk di atas bendi ditemani seorang kusir. Mereka masih berada di depan rumah sang nenek, siap untuk berangkat ke sekolah. Koleksi lain adalah sebuah ceret peninggalan neneknya yang disimpan di meja dekat dapur. Tutup ceret antik ini telah lama hilang.
            Koleksi menarik lainnya di rumah ini adalah bugi atau sejenis bendi yang dahulu sering digunakan Bung Hatta untuk pergi berangkat ke sekolah sewaktu kecil. Bugi itu disimpan di bagian belakang rumah, di dekat istal kuda yang kini sudah kosong. Jika tidak naik bendi dengan diantar kusir, Beliau biasanya naik sepeda untuk pergi menuju ke sekolah.


Ada sebuah sumur lama yang lubangnya telah ditutup dengan papan. Aslinya sumur ini berada di belakang rumah, dekat dapur. Sewaktu renovasi, bangunan ini dimundurkan, sehingga sumurnya berada di dalam rumah. Umur sumur ini lebih tua dari rumah yang pertama kali dibuat pada 1860. 
            Penampakan bagian belakang Rumah Kelahiran Bung Hatta Bukittinggi dengan dinding yang dilapis dengan anyaman bambu sangat rapi. Beranda luar di bagian atas belakang menjadi tempat tanaman gantung yang mempersegar suasana rumah. Di belakang rumah itu terdapat Lumbung Padi Aminah, dam lumbung Saleh yang adalah paman Bung Hatta. Di depan lumbung padi terdapat lesung batu untuk menumbuk gabah.


            Di ruangan lantai dua Rumah Kelahiran Bung Hatta Bukittinggi terdapat beberapa lampu gantung antik yang elok. Di lantai itu juga terdapat kamar Pak Gaek yang adalah kakek Bung Hatta, selain kamar di mana Bung Hatta dilahirkan, serta meja makan keluarga yang masih asli. Lukisan foto bung Hatta dalam ukuran besar dengan wajah tersenyum tampak menempel pada dinding di ujung ruangan.





Ngarai Sianok Bukittinggi


Mengagumi Pahatan Alam Ngarai Sianok




Bukittinggi merupakan salah satu kota wisata andalan di Sumatera Barat (Sumbar). Hawa yang sejuk dengan beraneka macam destinasi wisata membuat kota ini menjadi favorit para pelancong. Selain menawarkan panorama alam yang indah dengan hamparan bukit dan pegunungan, kota kedua terbesar di Sumbar ini juga memiliki banyak peninggalan sejarah. Selain itu, beberapa tempat wisata berada dalam satu kawasan sehingga memungkinkan wisatawan berkunjung ke sejumlah lokasi dalam satu waktu.
            Salah satu pesona wisata Bukittinggi adalah Ngarai Sianok, berupa lembah sempit yang dikelilingi bukit-bukit bertebing curam yang dihiasi dengan aliran sungai kecil di tengahnya. Kontur Lembah Sianok terbentuk karena proses turunnya sebagian lempengan bumi, sehingga menimbulkan patahan berwujud jurang yang curam. Tempat ini bisa diakses dari  Kota Padang ke Kota Bukittinggi sekitar kurang lebih 2 jam. Setibanya di Bukittinggi Anda bisa langsung menuju Wisata Ngarai Sianok dengan kendaraan umum. Agar perjalanan lebih menyenangkan, sebaiknya menggunakan kendaraan pribadi atau agen travel.  Ngarai ini terletak pada perbatasan Kota Bukittinggi, Kecamatan IV Koto, Kabupaten Agam.




            Ngarai Sianok membentang sejauh 15 km dari sisi selatan Nagari Koto Gadang hingga Nagari Sianok Enam Suku, dengan kedalaman tebing mencapai 100 meter dan lebar celah sekitar 200 meter. Kawasan ini memiliki sebutan lain yaitu Lembah Pendiam karena suasananya yang tenang dan damai. Didukung dengan udaranya yang bersih dan sejuk, diiringi latar suara kicauan burung dan gemericik air sungai. Karenanya, banyak warga Kota Bukittinggi mengisi akhir pekan dengan berolahraga di sekitar ngarai, seperti trekking, bersepeda gunung, maupun sekadar berjalan-jalan ringan. Pada tahun 2007 akibat gempa Sumatera, sebagian dindingnya runtuh, tetapi Ngarai Sianok masih tetap memesona para wisatawan yang datang.
            Tidak hanya pemandangan tebing curam saja, Batang Sianok (batang dalam bahasa Minangkabau berarti sungai) yang mengalir di Ngarai Sianok pun menambah keindahan. Airnya yang cukup jernih ini bermuara di Samudera Hindia. Terkadang aliran Sungai Sianok sering digunakan untuk beraktivitas olah raga air seperti, arung jeram, kayak, dan kano. Selain itu, di sepanjang tepi sungai masih dapat dijumpai bunga rafflesia yang tumbuh subur dan beraneka ragam tumbuhan herbal. Jika Anda ingin melihat satwa liar, Anda bisa masuk ke dalam hutan di lembah Sianok. Beberapa hewan yang bisa Anda temui yaitu siamang, monyet ekor panjang, rusa, macan tutul, babi hutan, dan mungkin juga tapir asia.
            Jika Anda hanya singgah sejenak di Bukittinggi dan tidak memiliki banyak waktu, tidak perlu khawatir. Anda masih dapat menikmati keindahan panorama Ngarai Sianok yang menghijau dari kejauhan di sebuah tempat bernama Taman Panorama.

Danau Kandi Sawahlunto


Pesona Danau Bekas Galian Tambang




            Selain wisata sejarah,  di Sawahlunto, Anda bisa mengunjungi kawasan wisata Kandi yang merupakan bekas penambangan batu bara PT. Bukit Asam. Wisata Kandi memiliki objek wisata seperti kebun binatang seluas sekitar 40 hektar dan Resort Wisata Kandi dengan luas 393,4 hektar. Ada 3 danau yang terbentuk dari bekas galian penambangan batu bara di Resort Wisata Kandi, yaitu Danau Kandi, Danau Tanah Hitam, dan Danau Tandikek. Dari ketiga danau bekas tambang, yang paling populer adalah panorama Danau Kandi yang berada di kecamatan Talawi. Untuk masuk ke Danau Kandi, pengunjung cukup membayar tiket Rp 4000. Panorama alam  di sekitar danau yang menyejukkan mata akan membuat pengunjung betah berlama-lama berada di sini.


            Danau Kandi sendiri merupakan danau buatan yang terbentuk dari bekas galian tambang yang melebar yang diakibatkan oleh jebolnya tanggul penahan aliran sungai  Ombilin.  Keberadaan danau bekas kegiatan penambangan terbuka seperti di Danau Kandi Sawahlunto ini mengingatkan pada Danau Kaolin yang ada di Belitung, yang juga terbentuk sebagai akibat kegiatan penambangan yang dilakukan secara masif. Bedanya adalah warna Kaolin yang putih serta cara penambangannya yang hanya menggunakan air bersih memberi panorama berbeda dengan batu bara yang warnanya hitam dan air danaunya dari Batang Ombilin.
            Tumbuhan yang mengelilingi danau Kandi juga menjadi daya tarik objek wisata ini. Karena saat  berada di sekitar danau tersebut Anda akan menghirup segarnya udara sekitar. Anda bisa melakukan banyak hal di sini seperti duduk santai sambil makan bersama keluarga sambil menikmati keindahan alam yang asri. Selain itu Anda juga bisa menikmati keindahan danau tersebut dengan menaiki perahu yang sudah di sediakan bagi para pengunjung wisata tersebut dengan membayar biaya transport untuk mengelilingi luasnya danau yang indah.
 Untuk mencapai Danau Kandi ini dari  kota Sawahlunto, Anda bisa berkendara   sekitar 15 menit yang juga merupakan jalur lintas Sawahlunto menuju Batusangkar atau sebaliknya. Jasa transportasi dari pusat Kota Sawahlunto bisa menggunakan angkutan kota jurusan Talawi atau ojek  yang terdapat di sekitar pasar kota Sawahlunto. Jika Anda menuju kawasan ini dari Kota Bukittinggi dapat menggunakan Bus MKZ, dan Kandi Wisata.


Museum Goedang Ransoem Sawahlunto


Dapur Besar di Museum Goedang Ransoem



Dari Gedung Info Box dan Lobang Mbah Soero, Anda bisa melanjutkan perjalanan sejarah ke Museum Goedang Ransoem yang hanya berjarak sekitar 200 meter. Museum Goedang Ransoem sendiri menjadi bagian yang tak terpisahkan dari proses pertambangan di Sawahlunto. Koleksi museumnya berjumlah 150 buah,  belum termasuk koleksi foto lama yang berjumlah lebih dari 250 buah. Harga tiket masuk museum ini adalah Rp 4.000 untuk dewasa, dan Rp 2.000 untuk anak-anak. Jam aktif kunjungan museum ini adalah pada Selasa hingga Jumat 07.30-16.30, Sabtu dan Minggu 09.00-16.00.
            Awalnya gedung Museum Goedang Ransoem adalah kawasan dapur umum bagi pekerja tambang yang dibangun tahun 1881. Gedung Museum Goedang Ransoem sempat menjadi tempat aktivitas memasak untuk tentara dalam skala besar pada masa Pendudukan Jepang hingga Agresi Belanda II. Di masa revolusi kemerdekaan, kawasan ini digunakan sebagai tempat memasak makanan tentara. Setelah kemerdekaan sempat digunakan sebagai kantor Perusahaan Tambang Batu Bara Ombilin, gedung SMP Ombilin (1960-1970), hunian karyawan Tambang Batu Bara Ombilin (sampai 1980), dan juga hunian masyarakat setempat hingga 2004. Berikutnya pada 2005 kawasan ini dikonservasi dan ditata pemerintah Kota Sawahlunto untuk acara permuseuman hingga 17 Desember 2005 dibuka resmi oleh Wakil Presiden Republik Indonesia, Jusuf Kalla.


            Tempat ini memiliki dua buah gudang besar dan tungku pembakaran (steam generator). Tempat ini mempekerjakan sekitar 100 orang karyawan dan setiap harinya memasak lebih dari 65 pikul nasi atau setara 3.900 kilogram nasi untuk pekerja tambang batubara (orang rantai), keluarga pekerja tambang (orang kawalan), dan pasien rumah sakit. Menu makanannya saat itu adalah nasi, daging, ikan asin, telur asin, sawi putih dan hijau, serta kol. Makanan tersebut diberikan pada siang dan malam hari. Untuk sarapannya pukul 10 pagi berupa lapek-lapek, dibuat dari beras ketan merah dibubuhi kelapa serta gula merah dan dibungkus daun pisang. Untuk minumannya adalah teh. Pada masa  itu, menu makanan tersebut terbilang cukup baik mengingat Pemerintah Hindia Belanda berkepentingan agar pekerja tambang (pekerja kontrak dan pekerja paksa orang rantai) dapat produktif sehingga menghasilkan keuntungan besar untuk pemerintah. Saat ini Anda dapat melihat replika bentuk makanan tersebut di museum ini.



            Bahan bakar memasaknya saat itu menggunakan sistem uap di mana tepat di bawah ruang masak terdapat ruang bawah tanah dengan pipa cerobong yang mengalirkan uap panas untuk 20 tungku. Uap panas ini berasal dari air panas yang direbus dengan menggunakan boiler di atas perbukitan yang dialirkan uapnya ke dapur.



           
            Di museum ini tidak hanya terdapat dapur tempat memasak. Terdapat beberapa bangunan yang memiliki fungsi yang berbeda, namun merupakan satu kesatuan utuh yang saling mendukung satu sama lain. Di antara bangunan-bangunan tersebut adalah: bangunan utama (dapur umum), gudang besar (warehouse) persediaan bahan mentah dan padi, dua steam generator (tungku pembakaran) buatan Jerman tahun 1894, menara cerobong asap, pabrik es batangan, rumah sakit, kantor koperasi tambang batubara Ombilin, heuler (penggilingan padi), rumah kepala ransum, rumah karyawan, pos penjaga, rumah jagal hewan, dan hunian kepala rumah potong hewan.
            Koleksi yang paling menarik adalah periuk raksasa yang terbuat dari besi dan nikel, di antaranya ada yang memiliki diameter 132 cm dan tinggi 62 cm. Dipajang juga koleksi kuali, rangsang, dan beragam peralatan dapur umum berukuran besar. Selain itu, ada foto-foto pekerja paksa yang kakinya dirantai, yang disebut orang rantai, pakaian mandor, pakaian pekerja dan koki, perlengkapan tambang batubara, baik yang modern ketika itu dan yang tradisional, serta contoh batu bara.

Lubang Tambang Mbah Soero Sawahlunto


Saksi Bisu Perjuangan Orang Rantai 




Sawahlunto, kota di Sumatera Barat ini sejak zaman Belanda terkenal dengan tambang batu baranya.  Ir. De Greve yang menemukan cadangan batu bara di sekitar Batang Ombilin pada pertengahan abad ke-19. Sejak 1 Desember 1888 pemerintah kolonial Belanda menanam uang untuk membangun berbagai fasilitas guna mengeruk batu bara di wilayah ini. Karena orang-orang Belanda pernah tinggal di sini, maka ketika berkunjung ke kota yang diapit Bukit Barisan ini, kita seperti dibawa kembali ke zaman kolonial. Gedung-gedung di kota ini masih banyak yang  bergaya Belanda.
            Kota yang diapit oleh tiga kabupaten yaitu Solok, Tanah Datar dan Sijunjung ini juga memiliki objek wisata, di antaranya wisata sejarah. Salah satunya Lobang Mbah Soero yang merupakan lubang bekas tambang pertama di Sawahlunto. Lokasinya berada di  jalan M Yazid, Tangsi Baru, Kelurahan Tanah Lapang, Lembah Soegar. Sejak tahun 2007, lubang ini dibuka untuk dijadikan wisata menelusur terowongan tambang. Nama Mbah Soero sendiri diambil dari  nama mandor yang berasal dari Jawa yang dipekerjakan di lubang tambang ini. Ia dikenal sebagai pekerja keras, tegas, taat beragama, dan memiliki ilmu kebatinan tinggi, sehingga sangat disegani oleh para buruh tambang.
            Untuk bisa menelusuri Lobang Mbah Soero, pengunjung  harus masuk ke Gedung Info Box yang merupakan galeri tambang batubara Sawahlunto. Tempat ini sebelumnya merupakan gedung pertemuan buruh yang dibangun pada tahun 1947, tempat dilangsungkannya pertemuan dan berbagai acara hiburan. Dari tempat inilah pengunjung masuk ke lubang tambang yang berada di sebelah kanan gedung dan wajib ditemani oleh pemandu wisata. Di tempat ini pengunjung akan dipinjami topi dan sepatu tambang sebelum melakukan penelusuran. Harga tiket masuk Rp 8 ribu/orang dan sebagai kenang-kenangan Anda akan diberi sertifikat.


            Pengelola tempat wisata ini mengeluarkan peraturan larangan masuk bagi wanita yang sedang datang bulan. Tidak diketahui apa penyebab adanya larangan ini, mungkin karena banyak ditemukan kerangka manusia saat objek wisata ini dibuka kembali, sehingga masyarakat harus menghormati tempat ini. Untuk menyusuri lubang ini,  Anda membutuhkan waktu 25 menit dan ujung lubang ini berada di seberang jalan dari pintu masuk. Wisatawan yang  bisa masuk ke sini maksimum 20 orang untuk menjaga kecukupan pasokan udara di dasar lubang.






            Sebelum menelusuri lubang tambang, Anda bisa melihat patung ‘orang rantai’ yang tengah mendorong lori berisi batubara, diawasi oleh seorang mandor yang berada di halaman, di antara Gedung Info Box dan Lobang Mbah Soero. Pintu masuk ke lubang tambang sendiri masih tertutup dan dikunci, dan baru dibuka ketika ada wisatawan yang hendak menyusuri tempat ini.







            Lubang tambang ini ditutup tahun 1930 karena tingginya rembesan air, dan baru dibuka kembali pada 2007 untuk dijadikan tempat wisata.  Bekas tambang batubara ini dipugar sejak 26 Juni 2007 dengan mengerahkan 15 pekerja untuk memompa air yang menggenangi lubang. Dibutuhkan waktu sekitar 20 hari untuk mengeringkan air di Lubang Tambang Mbah Soero ini. Renovasi terowongan ini selesai dilakukan sekitar akhir Desember 2007.



            Lubang Tambang Mbah Soero dengan lebar dan tingginya sekitar 2 m ini memiliki kedalaman 15 m dari permukaan tanah, dan baru bisa dimasuki sejauh 186 meter, dari bekas lubang galian tambang yang diperkirakan memiliki panjang keseluruhan sekitar 1 km. Ujung Lobang Mbah Soero konon mengandung energi mistik yang sangat besar.
            Dasar lubang tambang ini terlihat rapi dengan penerangan yang cukup baik. Udara segar dipompa ke dalam lubang dari permukaan tanah dan dialirkan melalui pipa-pipa, yang membuat udara di dasar lubang tambang tetap terasa segar. Pengeras suara pun telah dipasang jika sewaktu-waktu diperlukan. Salah satu lubang di dasar lubang tambang masih ditutup dengan pagar besi. Di beberapa tempat, atap lorong dilapis pelindung untuk melindungi pengunjung dari tetesan air yang masih merembes turun dari langit-langit.


            Bekas tambang batubara ini  menjadi saksi bisu penderitaan orang-orang rantai, yaitu para tawanan yang dipaksa bekerja menambang batubara sambil dirantai agar tidak melarikan diri. Banyak di antara mereka yang kemudian tewas karena sakit, kelaparan, atau ditembak karena membangkang.  Mbah Soero sendiri adalah seorang pesakitan yang kabarnya  didatangkan dari Jawa dan menjadi pemimpin orang-orang rantai ini. Beliau sangat dihormati dan dipercaya memiliki kesaktian yang digunakan untuk membela rakyat termasuk orang-orang rantai. Sementara itu istri Mbah Soero adalah dukun beranak yang yang juga disegani masyarakat. Tidak diketahui dari mana asal-usul Mbah Soero sebenarnya, setelah wafatnya, tokoh masyarakat ini kemudian dimakamkan di pemakaman orang rantai di Tanjung Sari Sawahlunto.