Senin, 29 Februari 2016

Taman Narmada, Taman Pura Mayura dan Makam Loang Baloq


MENELUSURI JEJAK PERADABAN DI KOTA MATARAM


            Jika Anda berkunjung ke pulau Lombok, sempatkanlah untuk menjelajah kota Mataram, ibukota provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Kota Mataram sendiri merupakan sentra dari perjalanan wisata di pulau Lombok dan saat ini dikembangkan menjadi salah satu kota pariwisata. Pengaruh adat Sasak dan adat Bali cukup mewarnai masyarakat di kota ini.
            Di Mataram, Anda bisa menemukan beberapa lokasi wisata bernuansa sejarah dan budaya. Salah satunya adalah Taman Narmada yang terletak di Desa Lembuak, Kecamatan Narmada, Lombok Barat, atau sekitar 10 kilometer sebelah timur kota Mataram.  Objek wisata ini bernaung di bawah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan NTB dan telah ditetapkan sebagai benda cagar budaya. Antara kurun waktu 1980-1988, taman ini sudah mengalami beberapa kali renovasi. Beberapa bagian yang sudah lapuk dan rusak, seperti tebing-tebing kolam, taman, pagar, dan pura telah diperbaiki, namun, tetap dipertahankan keasliannya.




            Menurut catatan sejarah, Taman Narmada dibangun tahun 1727 Masehi oleh Raja Mataram Lombok,  Anak Agung Ngurah Karangasem. Pemilihan nama Narmada tidak lepas dari agama Hindu yang dianut oleh raja dan rakyat pada masa itu. Narmada diambil dari kata Narmadanadi, nama sebuah anak sungai Gangga di India yang dianggap suci oleh umat Hindu.
            Desain taman ini dibuat menyerupai struktur Gunung Rinjani dan Danau Segara Anak. Konon, ketika Sang Raja sudah terlalu tua untuk melakukan ritual kurban (Pekelan) ke puncak Gunung Rinjani yang memiliki ketinggian 3.726 meter, Beliau memerintahkan seluruh arsitek kerajaan untuk ‘’membawa’’ Gunung Rinjani ke pusat kota. Akhirnya mereka bersepakat untuk membuat ‘’duplikat’’ Gunung Rinjani yaitu Taman Narmada. Pada masa itu, selain sebagai tempat khusus untuk memuja Dewa Shiwa, taman ini juga diperuntukkan sebagai tempat peristirahatan raja. 
            Di bagian bawah Taman Narmada terdapat tiga kolam yang dialiri oleh sumber mata air jernih. Jumlahnya yang tiga, sama dengan jumlah Danau Segara Anak di puncak Gunung Rinjani. Taman seluas kurang lebih dua hektar ini memiliki  beberapa bagian, seperti Pura Kalasa (Pura Narmada), Bale Petirtan, Bale Terang, Bale Loji, Telaga Kembar, Telaga Padmawangi, Bale Bancingah, Bale Pamerajan dan beberapa bagian lainnya.







            Pura Kelasa merupakan bagian taman yang berada di bagian paling atas. Untuk sampai ke pura ini, Anda harus melewati puluhan anak tangga yang sengaja dibuat agar tampak seolah-olah mendaki Gunung Rinjani. Antara bulan November dan Desember, taman ini akan menjadi pusat ibadah. Para penduduk asli Lombok penganut agama Hindu pada bulan tersebut biasanya merayakan Hari Pujawali dengan menaiki Gunung Rinjani dan melakukan ritual Pekelan dengan melempar barang-barang dan perhiasan kecil untuk menghormati dewa yang menjaga Gunung Rinjani. Namun, bagi yang tidak mampu pergi ke gunung, mereka cukup datang ke Pura Kelasa. 





            Selain Pura Kelasa, tempat  lain yang menarik adalah Bale Petirtan yang sumber airnya berasal dari Gunung Rinjani dan merupakan pertemuan antara tiga sumber mata air, yaitu Lingsar, Suranadi, dan Narmada. Ada kepercayaan bahwa orang yang meminum  dan membasuh wajahnya dengan air di sini akan awet muda.  Menurut Andi, pemandu wisata di taman ini, sebenarnya air di Bale Petirtan mengandung banyak mineral yang bisa menyembuhkan penyakit kulit dan dipercaya juga menyembuhkan orang yang memiliki penyakit maag.  Namun, dari dulu orang lebih percaya bahwa air di sini bisa membuat orang awet muda.


            Tak ada salahnya Anda mencoba khasiat air yang ada di dalam ruangan sebesar 5x5 meter. Yang pasti, saat Anda membasuh muka, rasa dingin  dan segar akan terasa dan menjalar di wajah. Untuk masuk ke tempat ini, Anda diminta mengenakan selendang di pinggang dan melepaskan alas kaki. Wanita yang sedang menstruasi dilarang masuk. Di dalam ruangan ada tokoh agama setempat yang tugasnya mendoakan orang yang datang. Bagi pengunjung yang ingin bersembahyang (umat Hindu) di Bale Petirtan, akan dikenakan pembayaran Rp 50 ribu sebagai ganti uang banten, yang akan disiapkan penjaga. Apabila pengunjung tidak memiliki banyak waktu dan tidak sempat bersembahyang, bisa membeli air tersebut dengan harga Rp 10 ribu per jerigen kecil. 



            Bangunan lain yang ada di taman ini adalah Bale Terang berbentuk rumah panggung yang terdiri atas ruang bawah yang berfungsi sebagai gudang. Bagian atasnya terbagi atas tiga bagian, yakni dua bagian pada ujungnya (utara dan selatan) sebagai tempat tidur raja. Sementara, ruang tengahnya merupakan area terbuka sebagai tempat raja melihat pemandangan ke arah timur menuju arah meru. Bukan hanya meru, dari Bale Terang pengunjung pun dapat dinikmati kolam berair bening dan di kejauhan terlihat pepohonan berbunga merah tua, yang menghembuskan aroma segar khas bunga-bunga hutan. Selain Bale Terang, juga terdapat Bale Pawedayan yang berfungsi sebagai tempat membaca kitab Wedha dan Bale Loji, yakni bangunan rumah yang memiliki serambi terbuka, berfungsi sebagai tempat peristirahan raja dan permaisuri. 




            
Tiket masuk ke Taman Narmada ini cukup murah, Rp 5 ribu. Begitu juga jika wisatawan ingin merasakan air dingin menyegarkan di kolam pemandian, akan diwajibkan membayar Rp 5 ribu per orang.

Taman Pura Mayura

            Selain Taman Narmada,  di Mataram ada tempat lain yang juga eksotis, yaitu Taman Pura Mayura yang berlokasi di dekat komplek bisnis dan pertokoan di daerah Cakranegara. Perjalanan ke pura ini hanya sekitar 15 menit dari pusat kota.  Taman Pura Mayura merupakan saksi keberadaan kerajaan Singasari dan orang-orang Bali di Lombok pada abad ke-19, dibangun oleh Raja Anak Agung Made Karangasem sekitar tahun 1744. Pada mulanya area taman ini bernama Taman Kelepug. Nama tersebut diambil dari suara “klepug… klepug… ”, yaitu suara aliran air dari mata air yang jatuh ke kolam. Nama tersebut kemudian diganti ketika taman direnovasi oleh Raja Anak Agung Ngurah Karangasem (yang juga membangun Taman Narmada), sekitar tahun 1866.





            Nama Mayura diambil dari bahasa Sansekerta yang berarti burung merak. Pada waktu itu, masih terdapat banyak ular yang berkeliaran sehingga meresahkan masyarakat yang hendak berdoa di pura. Beberapa penasihat kemudian menyarankan agar di dalam taman dan pura ditempatkan burung merak. Keberadaan burung merak memang cukup membantu dalam mengusir ular-ular  yang datang sehingga masyarakat dapat berdoa dengan tenang. Sejak saat itu, nama “Mayura” mulai dipakai dan dikenal.
            Ketika menginjakkan kaki di Taman Mayura, Anda akan merasakan kombinasi suasana yang unik, antara suasana alam yang asri, suasana religius, dan nuansa sejarah. Wilayah taman ini terdiri dari dua bagian, yaitu area taman dan area pura. Di area taman, Anda akan mendapati taman yang tertata rapi. Di sini Anda akan merasakan kedamaian yang alami. Di sekeliling taman dipagari oleh pohon-pohon manggis, dengan rumput hijaunya yang subur terawat. Di taman ini Anda juga akan menemui sebuah kolam yang di tengahnya berdiri sebuah bangunan. Bangunan tersebut bernama “Rat Kerte”, sering disebut sebagai “Gili” (dalam bahasa Sasak berarti “pulau kecil”). Rat Kerte atau Gili tersebut dulunya sering dipakai sebagai tempat untuk berkumpul, melakukan pertemuan atau rapat, serta untuk menerima tamu kerajaan.



            Di dalam Rat Kerte, Anda akan menjumpai patung-patung yang bercirikan muslim, oriental, dan jawa. Patung yang mencirikan muslim berada di bagian barat, timur dan utara Rat Kerte, bersebelahan dengan bangunan linggih yang kental corak Hindu Balinya.
            Sementera itu, di pinggir kolam yang mengelilingi Rat Kerte, kerap ditemui beberapa pengunjung yang memancing. Selain itu, ada juga yang mencoba beberapa ritual seperti melempar koin ke dalam kolam atau ritual memanggil ikan keramat yang dipancing dengan telur asin yang berbau sangat amis.
            Menurut penjaga pura atau pemangku, ‘’roh’’ dari area  taman ini sebenarnya terletak di komplek pura yang berada di hulu kolam. Namun komplek tersebut biasanya luput dari mata para pengunjung. Karena perhatian para pengunjung lebih kepada luasnya area taman yang indah. Menginjak ke komplek pura, Anda bisa menemui empat pura utama. Seperti Pura Gunung Rinjani, Pura Ngelurah, Pura Padmasana, dan Pura Gedong. Pura Gedong sering digunakan untuk peribadatan umat Hindu, bahkan dari berbagai penjuru dunia. Karena hal tersebut, Pura Gedong juga memiliki nama lain, yaitu Pura Jagad Nata yang merupakan pura terbesar ketiga di Indonesia setelah Pura di Borobudur, Jogjakarta dan Pura Bedugul di Bali. Di sekitar pura terdapat pohon beringin. Menurut kepercayaan, pohon beringin bukan hanya mengandung unsur mistis namun juga merupakan pertanda suatu tempat akan makmur, jaya, serta selalu aman sentosa.





            Komplek pura ini tidak hanya dikunjungi oleh umat Hindu saja. Siapapun boleh masuk ke area pura untuk melihat-lihat serta mengetahui sejarahnya. Hanya pada waktu-waktu tertentu, area pura ditutup untuk umum. Seperti pada perayaan Galungan, perayaan Kuningan, serta hari raya umat Hindu lainnya. Jika Anda ingin mengetahui lebih banyak tentang kompleks pura serta Taman Mayura ini, Anda bisa menanyakannya pada pemangku di Bale Pawedan.



            Jika mengunjungi taman ini, Anda harus mengenakan selendang kecil panjang berwarna merah. Setiap pengunjung harus mengikatkan selendang ini di pinggang. Tiket masuk ke Taman Mayura Rp 10.000/orang. Di sini, pengunjung akan ditawari menggunakan jasa guide atau tidak.

Makam di Lubang Beringin





            Puas menelusuri jejak sejarah di Taman Narmada dan Taman Pura Mayura, Anda bisa melanjutkan wisata sejarah dan religi ke kompleks makam Loang Baloq yang berada di Kelurahan Tanjung Karang, Kecamatan Ampenan atau sekitar 6 kilometer dari Mataram.  Anda dapat dengan mudah menuju tempat ini karena dilalui oleh jalan lingkar Mataram yang sudah beraspal. Anda bisa naik kendaraan umum atau menyewa mobil.
            Loang Baloq sendiri dapat diartikan sebagai lubang buaya karena dulunya tempat makam tersebut adalah sungai besar yang banyak didiami bebaloq atau buaya. Sementara dalam bahasa Sasak, Loang Baloq berarti pohon beringin yang berlubang. Ya, area ini memang ditumbuhi sebuah pohon beringin yang konon sudah berumur ratusan tahun. 


            Makam Loang Baloq adalah kawasan pemakaman yang di dalamnya terdapat puluhan jasad yang dimakamkan di sana. Makam yang kerap dikunjungi peziarah adalah milik Maulana Syech Gaus Abdurrazak,  Anak Yatim dan Datuk Laut. Syech Gaus Abdurrazak adalah pendakwah Islam dari Baghdad Irak yang menyebarkan Islam di Palembang dan kemudian ke Lombok sekitar 18 abad lalu. Setelah dari Palembang, Syech Gaus meneruskan perjalanan dan mendarat di pesisir pantai Ampenan, Mataram. 




Setelah sampai, ia memberikan petuah-petuah yang bersumber pada ajaran Islam kepada masyarakat setempat. Makam Syech Gaus Abdurrazak inilah yang berada di lubang tepat di bawah pohon beringin berbentuk persegi panjang dengan lubang di tengah, tempat di mana para peziarah biasanya menaburkan bunga. Untuk masuk ke dalam makam lubang akar beringin yang lantainya sudah berkeramik ini, ada pintu masuk dan di sana disiapkan air untuk peziarah mencuci kaki, berwudlu ataupun menyiramkan air ke atas makam.
            Sementara itu, makam Anak Yatim berada di samping bagian luar makam Maulana Syech Gaus Abdurrazak dengan ukuran yang relatif lebih kecil. Di samping makam ini, terdapat makam Datuk Laut dengan bangunan permanen berukuran 3 x 4 meter berkeramik warna hitam.




            Tidak hanya berziarah, pengunjung yang datang ke kompleks makam ini juga menggelar sejumlah ritual seperti potong rambut anak yang masih balita atau disebut dengan Ngurisang. Peziarah biasanya juga menyampaikan nazar dan berdoa di makam. Bagi yang menyampaikan nazar tertentu, mereka selalu mengikatkan sesuatu ke akar gantung pohon beringin.  Jika nazar mereka dikabulkan, mereka akan kembali lagi ke tempat itu dan membuka ikatan serta membayar nazar yang sudah disampaikan. Tradisi dan kebiasaan ini disebut dengan Saur Sesangi.  Kompleks ini ramai dikunjungi warga saat Idul Fitri hingga perayaan lebaran topat, tujuh hari setelah Idul Fitri dan perayaan Maulid Nabi.



            Sayangnya, potensi wisata makam Loang Baloq belum dimaksimalkan. Padahal setiap hari, ratusan bahkan ribuan peziarah datang ke makam ini. Sejauh ini tidak ada tour guide yang bisa menjelaskan sejarah tentang makam tersebut. Hanya ada sedikit informasi  melalui papan yang memberikan penjelasan terkait makam. Penataan areal makam juga terkesan tidak rapi. Para pedagang dibiarkan memenuhi sekitar area makam tanpa adanya penataan. Penataan area parkir juga kurang baik sehingga membuat para peziarah memarkir motor dan mobilnya di badan jalan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar