Menyaksikan Kearifan Lokal Suku Sasak
di Desa Sade
Jika Anda mengunjungi Pulau Lombok, sempatkanlah mengunjungi Desa
Sade atau Sade Village yang berada di Rembitan, Pujut, Lombok Tengah. Sade merupakan desa wisata yang menawarkan
pengalaman unik kepada wisatawan untuk melihat dari dekat
kehidupan suku Sasak, suku asli yang mendiami Pulau Lombok. Lokasi Desa Sade
tidak jauh dari Bandara Internasional Lombok (BIL), terletak persis di pinggir jalan raya antara Praya-Kuta,
atau sekitar 30 km dari kota Mataram. Apabila menggunakan
kendaraan, tempat ini dapat ditempuh dalam waktu satu jam perjalanan.
Begitu
Anda tiba di kawasan Sade, atmosfer
desa tradisional langsung menyapa. Di area parkir mobil dan motor yang berada di tepi jalan, terdapat plang berbentuk rumah adat Sasak
bertuliskan ‘’Welcome to Sasak
Village, Sade, Rembitan, Lombok’’. Tak jauh dari sana, beberapa pemuda
pemandu wisata, berdiri menyambut, siap mengantarkan pengunjung untuk berkeliling desa. Dari tempat parkir,
Anda mesti menyeberangi jalan untuk memasuki area perkampungan Sade.
Melangkahkan
kaki melewati gapura desa, sebelum masuk lebih jauh, Anda akan diminta mengisi
buku tamu dan memberikan sumbangan seikhlas hati untuk perawatan desa. Kawasan perkampungan Sade ini terdiri dari gang-gang sempit dengan jalan yang naik turun atau split level. Karena itulah, Anda harus berjalan kaki untuk mengelilingi dan melihat-lihat keadaan di desa ini. Saat memasuki kampung, Anda
akan disambut dengan untaian
kain berjajar rapi dan aneka cinderamata
khas Lombok yang dipajang untuk dijual, hampir di setiap
rumah yang ada di desa ini.
Dimin, pemandu wisata yang merupakan warga setempat menceritakan sejarah
dan seluk beluk Desa Sade yang memiliki luas lebih kurang 6 hektar
dan ditinggali sekitar 150
kepala keluarga. Ya, hanya ada 150
rumah yang di sana karena pemerintah
daerah setempat bersama-sama dengan pemangku adat desa memang
mempertahankan keaslian adat istiadat lokal di desa ini. Menurut peraturan
desa, warga tidak boleh membangun pemukiman baru lagi di Desa Sade. Perkampungan ini berdiri sejak 1907, dan pada
tahun 1979 dibuka menjadi tempat wisata.
Yang menarik dari keberadaan kampung ini
adalah rumah adat suku Sasak yang terbuat dari kayu
dengan dinding dari anyaman bambu, beratapkan
daun rumbia atau daun alang-alang kering, kuda-kuda atapnya memakai bambu tanpa
paku. Lantai
dari rumah dibuat dari campuran tanah, getah pohon dan abu jerami yang kemudian
diolesi dengan kotoran kerbau. Meski setiap rumah memiliki bentuk yang sama,
tetapi dibedakan berdasarkan
fungsinya, yaitu
Bale Tani, Jajar Sekenam, Bonter, Kodong, Beleq,
Berugag, Tajuk dan Bencingah. Bale
Bonter merupakan rumah yang dimiliki oleh pejabat desa. Bale Kodong ditinggali warga
yang baru menikah atau orangtua untuk menghabiskan masa tua, dan Bale Tani yang digunakan sebagai tempat
tinggal. Sementara Berugag merupakan sebuah
bangunan panggung berbentuk segi empat yang tidak memiliki dinding, berfungsi
sebagai tempat untuk menerima tamu, dan juga digunakan sebagai tempat untuk bersantai atau untuk pertemuan internal keluarga.
Anda bisa melihat lebih detail Bale
Tani yang merupakan rumah tempat tinggal. Griya tradisional ini memiliki
teras rendah dengan tangga tiga buah. Semua itu memiliki filosofi, teras
rumah yang rendah mengandung maksud agar tamu merunduk saat masuk dan keluar rumah. Yang melambangkan
supaya kita ingat kepada Yang Maha Kuasa, ingat kepada orang tua. Keunikan yang lain dari Bale Tani adalah pintu
untuk keluar masuk rumah hanya ada satu,
yaitu di bagian depan rumah. Tinggi pintu rumah hanya setinggi
ukuran orang dewasa bahkan lebih
rendah lagi. Sehingga untuk memasuki rumah ini, Anda harus membungkukkan
badan agar kepala tidak terbentur bagian atas pintu.
Rumah suku Sasak ini begitu sederhana, berukuran sekitar 7 x 5 meter dan dibagi menjadi dua ruangan, yaitu bale luar dan bale dalam. Bale luar adalah area untuk menerima tamu sekaligus ruang tidur bagi laki- laki. Meski dipergunakan untuk menerima tamu, namun, jangan Anda bayangkan ada seperangkat meja kursi tamu di bale luar
Di ruang ini, Anda hanya akan menemui tempat tidur dan lemari serta beberapa barang-barang lainnya. Sementara itu, bale dalam letaknya di belakang dari bale luar dan dihubungkan oleh anak tangga. Untuk mencapai pintu masuk ke bale dalam yang ukurunnya lebih mini lagi dibandingkan dengan ukuran pintu masuk rumah, Anda harus menapaki 3 anak tangga. Jumlah anak tangga ini pun tidak sembarangan dan memiliki arti tersendiri. Menurut Dimin, jumlah anak tangga itu sesuai dengan filosofi ‘’Wetu Telu’’ di mana menurut kepercayaan suku Sasak hidup manusia itu termaknai dalam 3 tahapan yaitu lahir, berkembang dan mati. Sementara, bale dalam adalah ruang yang lebih privasi. Di sini terdapat tungku untuk memasak dan ruangan tidur untuk perempuan yang juga digunakan untuk ruangan melahirkan. Bale dalam tidak memiliki jendela dan penerangannya hanya berasal dari lampu yang terletak di pojok ruangan.
Dimin menceritakan, salah satu keunikan dari perawatan lantai Bale Tani adalah dengan menggosok lantai dengan kotoran kerbau yang masih baru, dicampur sedikit air. Kemudian
setelah kering disapu dan digosok dengan batu. Meski demikian, di dalam rumah ini tidak tercium bau menyengat
dari kotoran kerbau tersebut. Menurut Dimin penggunaan kotoran kerbau ini berfungsi untuk
membersihkan lantai dari debu, memperkuat lantai, serta menghangatkan rumah di
malam hari. Masyarakat Sasak percaya bahwa kotoran kerbau tersebut dapat
mengusir serangga sekaligus menangkal serangan magis
yang ditujukan pada penghuni rumah.
Di tengah-tengah perkampungan, Anda
akan menjumpai lumbung padi khas suku Sasak atau disebut berugag. Berugag
inilah yang menjadi ikon di setiap
bangunan pemerintah yang terdapat di Pulau Lombok. Berugag
berfungsi sebagai tempat penyimpanan hasil bumi dan bagian bawah bangunannya
yang tidak berdinding sering dipergunakan oleh masyarakat setempat sebagai
tempat untuk berkumpul. Di desa ini juga terdapat bangunan masjid, dan balai pertemuan yang letaknya
tidak jauh dari pintu gerbang desa.
Dulu, penduduk Desa Sade
menganut Islam Wektu Telu (hanya tiga kali salat
dalam sehari). Tapi sekarang, banyak penduduk yang sudah
meninggalkan Wektu Telu dan memeluk Islam sepenuhnya, Di desa yang hampir
sebagian besar penduduk desa, baik laki-laki
dan perempuan mengenakan sarung ini, juga
memiliki budaya kawin lari. Orang Sasak tidak mengenal lamaran
sehingga untuk menikah si pria harus membawa lari si perempuan.
Kawin lari ini dilakukan,
ketika pasangan ingin menikah. Si laki-laki membawa kabur perempuan selama dua
sampai tiga malam tidak boleh diketahui keluarga perempuan. Kemudian ada utusan
keluarga laki-laki yang
menjelaskan ke orang tua perempuan, sebagai bentuk
permintaan anak perempuannya akan dinikahi. Dimin menambahkan anak gadis yang dinikahkan di Desa Sade rata-rata
berumur 16-17 tahun, atau rata-rata lulusan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Dan, salah satu syarat perempuan Sade bisa menikah, harus bisa menenun.
Jika tidak bisa maka tidak boleh menikah. Sementara, untuk
laki-laki di Desa Sade masih ada yang berpendidikan SMA, namun kebanyakan tetap
bekerja sebagai petani di desanya.
Sebagian
besar warga Desa Sade hidup dari kegiatan bertani, menjadi pengrajin
kain tenun ikat khas Lombok dan pengrajin cinderamata. Di tempat ini, Anda bisa melihat
dari dekat proses pembuatan kain tenun ikat dan proses
pemintalan benang yang dikerjakan oleh warga setempat. Semua
warga perempuan di desa Sade memiliki keahlian menenun. Mereka biasanya
memulai menenun setelah bekerja di sawah ataupun ladang. Perempuan
Sasak bisa menghabiskan waktu satu bulan untuk menenun songket. Sementara untuk
ukuran yang lebih kecil, seperti taplak meja atau sajadah, hanya membutuhkan
waktu satu minggu. Tenun Sasak
memiliki banyak motif, di antaranya Sabuk Antang,
Subhanala, Tapok Kemolo,
dan Ragi Genep.
Namun, dalam perkembangannya, saat ini ada beberapa produk buatan luar desa yang dijual di Sade, seperti tas. Bahan tas sebenarnya berasal dari tenun karya warga Sade. Namun karena tidak ada mesin jahit di Desa Sade, kain tersebut dijahit di luar. Semua produk kerajinan tenun penduduk Sade dihargai bervariasi, mulai puluhan sampai ratusan ribu, tergantung jenis dan ukuran. Selain tenun, Anda juga akan mendapati aneka aksesoris buatan warga setempat seperti kalung, gelang ataupun wadah perhiasan yang bisa Anda jadikan sebagai oleh - oleh dari Lombok. Beberapa motif yang sering menghiasi aksesoris tersebut biasanya berupa cicak, yang merupakan simbol keberuntungan menurut masyarakat setempat.
Namun, dalam perkembangannya, saat ini ada beberapa produk buatan luar desa yang dijual di Sade, seperti tas. Bahan tas sebenarnya berasal dari tenun karya warga Sade. Namun karena tidak ada mesin jahit di Desa Sade, kain tersebut dijahit di luar. Semua produk kerajinan tenun penduduk Sade dihargai bervariasi, mulai puluhan sampai ratusan ribu, tergantung jenis dan ukuran. Selain tenun, Anda juga akan mendapati aneka aksesoris buatan warga setempat seperti kalung, gelang ataupun wadah perhiasan yang bisa Anda jadikan sebagai oleh - oleh dari Lombok. Beberapa motif yang sering menghiasi aksesoris tersebut biasanya berupa cicak, yang merupakan simbol keberuntungan menurut masyarakat setempat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar