Berburu Blue Fire dan Bertamu ke Rumah
Penyu
RASA penasaran atas keindahan wisata Banyuwangi, membuat saya dan Ririen,
sahabat semasa kuliah, bertekat untuk melakukan petualangan ke kabupaten yang
terletak di ujung paling timur pulau Jawa. Saat saya dan Ririen menceritakan
niat berpetualang ke Banyuwangi, keluarga dan rekan-rekan sempat tak percaya.
Mereka bertanya dengan nada heran, ‘’Wisata ke Banyuwangi? Apa bagusnya? Apa
tidak lebih baik ke Bali saja!’’.
Namun, semua komentar, tak
menyurutkan niat untuk mengunjungi Kabupaten berjuluk ‘’The Sunrise of Java’’
ini. Meski tinggal berbeda kota, saya di Semarang dan Ririen di Cilegon, kami
sepakat bertemu di meeting point di
stasiun kereta api Gubeng Surabaya. Dari
Surabaya kami naik kereta menuju stasiun Banyuwangi. Sampai di sana, kami sengaja merental mobil
dan supir sekaligus sebagai pemandu.
Banyuwangi merupakan Kabupaten yang
memiliki banyak objek wisata alam yang menantang, terutama pantainya yang
indah. Sebagai pemanasan, tempat pertama
yang kami kunjungi adalah pantai Pulau Merah di Desa Sumber Agung
Kecamatan Pesanggaran yang berada di bagian selatan. Disebut Pulau Merah
karena terdapat sebuah bukit yang menjulang tinggi di ujung pantai. Di
bawah bukit tersebut terdapat batuan karang di mana saat matahari mulai
ternggelam akan tampak cahaya jingga kemerahan yang muncul dari balik bukit.
Selain pemandangan sunset yang
indah, pantai Pulau Merah juga menjadi tujuan selancar kelas dunia. Memiliki
ciri seperti kebanyakan pantai yang ada di Brazil, pantai Pulau Merah mirip
dengan pantai Kuta di Bali. Namun, pantai Pulau Merah memiliki ombak yang
bergulung lebih banyak sehingga memungkinkan para peselancar untuk menggunakan
teknik-teknik surfing yang menantang.
Sayang, karena tak bisa berselancar, kami hanya
duduk-duduk dan menikmati sensasi berjemur di atas kursi kayu, melihat
ombak, bermain air sembari menunggu sunset.
Oh iya, sebenarnya kami ingin menginap di rumah penduduk, karena pantai ini terletak di dekat desa nelayan. Namun, kami mengurungkan niat karena keterbatasan waktu dan masih banyak tempat yang ingin kami kunjungi.
Oh iya, sebenarnya kami ingin menginap di rumah penduduk, karena pantai ini terletak di dekat desa nelayan. Namun, kami mengurungkan niat karena keterbatasan waktu dan masih banyak tempat yang ingin kami kunjungi.
Di hari kedua, kami meningkatkan
adrenalin dengan melanjutkan perjalanan ke pantai Sukamade yang berada di
kawasan konservasi Taman Nasional Meru Betiri (TNMB). Pantai Sukamade sendiri
berjarak sekitar 100 kilometer dari pusat kota Banyuwangi atau membutuhkan
waktu kurang lebih 5 jam untuk bisa sampai ke sana. Kebanyakan wisatawan
mengunjungi Taman Nasional Meru Betiri dan pantai Sukamade sebagai tujuan
utama. Namun, sebelum sampai di sana, wisatawan akan melewati Teluk Hijau, yang
biasanya hanya dilihat dari atas bukit saja. Padahal keindahan sebenarnya ada
pada pantainya. Karena itulah, saya dan Ririen bertekat melihat dari dekat
Teluk Hijau.
Kami menuju ke sana dengan terlebih
dulu mengunjungi pantai Rajegwesi sebagai ‘’gerbang’’ menuju Teluk Hijau. Dari
sini, kami naik perahu jukung selama kurang lebih 15 menit. Kami menyewa perahu
dengan harga Rp 25 ribu/orang sekali jalan atau Rp 35 ribu untuk pulang pergi.
Uji nyali dimulai. Saya sempat ragu menaiki perahu, ada rasa takut dan khawatir
melihat ombak besar dan bergulung-gulung. Namun, pemandu menenangkan. Katanya,
para nelayan yang membawa perahu jukung sudah tahu bagaimana cara menaklukkan
ombak. Selain itu, perahu jukung yang dilengkapi dengan sepasang cadik yang
berfungsi sebagai pelampung ini merupakan perahu paling aman, lincah dan
mudah dikendalikan. Selama menaiki perahu kami diwajibkan mengenakan
jaket pelampung.
Dengan perahu ini, kami menyusuri pantai selatan yang terkenal dengan ombaknya yang cukup besar. Perahu terayun-ayun, pakaian kami basah terkena cipratan air laut. Namun, semua itu tak berarti. Karena begitu tiba di Teluk Hijau, kami disuguhi keindahan panorama air laut berwarna hijau dengan hamparan pasir putih, serta pemandangan asri karena teluk ini dikepung bukit dengan pepohonan yang menghijau. Suasana yang tenang dan tak terlalu ramai bahkan saat liburan sekalipun, membuat kami bisa menikmati keasrian Teluk Hijau sepuasnya. Dan, kami seperti memiliki pantai pribadi.
Di ujung barat dan timur terdapat
batuan karang yang menambah keeksotisan tempat ini. Di sisi timur terdapat air
terjun air tawar setinggi 8 meter dengan debit yang sedang dan biasa dipakai
untuk membilas badan selepas berenang di pantai. Ya, pantai ini memang masih sangat bersih. Demi
menjaga keasriannya, pengelola Teluk Hijau memasang papan peringatan agar
wisatawan tak membuang sampah sembarangan serta mengotori tempat ini.
Mengintip
Penyu Bertelur
Puas menikmati keindahan Teluk Hijau, kami melanjutkan perjalanan
ke pantai Sukamade di desa Sarongan Kecamatan Pesanggaran. Karena medan
dan jalanan di Banyuwangi cukup menantang, selama berpetualang, kami menaiki
mobil 4x4 alias double gardan.
Jalur berlumpur dan bebatuan yang kami lewati membuat andrenalin terpacu.
Jalanan berkelok serta menanjak bebukitan, batuan terjal dan tanah becek,
semuanya sengaja dibiarkan alami agar mereka yang melewati rute ini merasakan
sensasi petualangan. Perjalanan menantang ini harus dilewati hampir sepanjang
30 kilometer. Selain dari Banyuwangi, pantai Sukamade dapat dicapai
dari Jember yang berjarak sekitar 127 km.
Untuk bisa mencapai Sukamade, kami harus menyeberang empat sungai besar
dan tiga sungai kecil. Menurut penduduk, bila musim hujan tiba beberapa sungai
tersebut meluap sehingga membuat kendaraan tidak bisa lewat. Satu satunya jalan
adalah menyeberang dengan memakai rakit. Karena medan yang sulit
inilah, membuat pantai ini tidak banyak dikunjungi wisatawan sehingga
keasriannya masih terjaga. Pantai Sukamade terutama paling diminati
wisatawan mancanegara, karena mereka bisa mengamati penyu bertelur.
Begitu masuk pantai Sukamade, kami disambut oleh sekelompok macaca dan lutung
yang sudah terbiasa dengan pengunjung. Kami kemudian menikmati trekking melintasi hamparan hutan
hujan tropis dataran rendah dengan akses jalan setapak. Sepanjang jalur kami
menjumpai kumpulan kelelawar besar, kijang, babi hutan, biawak dan berbagai
jenis burung termasuk elang laut. Setiba di Pondok Rafflesia, pusat konservasi
penyu Sukamade, kami pun bersiap menyaksikan proses penyu bertelur. Pengamatan
penyu dilakukan sekitar pukul 20.00-24.00 WIB. Biasanya, penyu bertelur pada
bulan Mei, Juni dan Juli. Namun, dari hasil pengamatan petugas Taman
Nasional Meru Betiri, hampir tiap hari ada penyu yang mendarat di Pantai
Sukamade, selama Januari-Desember. Kami berkunjung ke Sukamade pada bulan April
2015, dan bisa mengintip penyu bertelur.
Pengunjung tidak diperbolehkan
menyalakan lampu dan berbuat gaduh saat berada di pantai selama menunggu
kedatangan penyu. Ketika ada tanda munculnya binatang laut ini, kami diberi
kode lampu senter dari arah lokasi. Petugas memperingatkan agar tidak berdiri
di depan lintasan jalan penyu karena akan menyebabkan penyu ngambek. Petugas
memperbolehkan kami mengambil gambar tanpa flash
dan hanya boleh diambil dari samping dengan bantuan senter. Penyorotan dari
depan wajah ibu penyu akan membuat binatang laut itu terganggu dan kehilangan
konsentrasi, sehingga membuatnya kembali menuju air laut. Di tempat ini, selain
melihat penyu bertelur, para wisatawan juga bisa turut aktif dalam usaha
konservasi dengan mengikuti kegiatan pelepasan tukik (anak penyu yang baru
menetas) ke laut setelah ditetaskan melalui penetasan semi alami.
Berburu
Dubang
Setelah menyaksikan penyu bertelur,
kami kembali ke Banyuwangi, beristirahat mengumpulkan tenaga yang sudah
terkuras selama perjalanan ke Sukamade. Rencananya, esok hari, kami akan
melanjutkan petualangan ke Kawah Ijen (Ijen Crater). Untuk mengisi waktu, kami
melakukan wisata kuliner. Seorang rekan dari Surabaya mereferensikan makanan
khas Banyuwangi yang wajib dicicipi, yaitu Rujak Soto.
Kami pun mengunjungi Pondok Rujak
Soto Murah Meriah, rumah makan sederhana yang ada sejak tahun 1977 di jalan
Basuki Rahmat. Makanan rujak soto sendiri berupa pecel lontong yang
kemudian disiram kuah soto kuning lengkap dengan jeroan (usus, babat),
juga kikil. Cara makannya ditambah kecap manis, emping, dan kerupuk
udang. Rasanya? Perpaduan antara bumbu kacang dan kuah soto menghasilkan
sensasi rasa yang unik, gurih dan bertekstur. Harga semangkuk rujak soto cukup
beragam. Menu biasa (berisi irisan babat dan usus seharga Rp 10 ribu, irisan
ayam Rp 12 ribu dan daging sapi Rp 15 ribu. Ya, dari situ kami baru tahu kalau
orang Banyuwangi ternyata memang suka menggabungkan dua makanan
sekaligus, seperti pecel rawon ataupun buntut rawon
Puas menikmati Rujak Soto, kami
penasaran dengan dubang alias durian abang yang daging buahnya berwarna
merah. Kami kemudian memburunya ke Desa
Kemiren, tak begitu jauh dari kota Banyuwangi. Kami menuju Gang Duren Abang
atau Gang Durian Merah, salah satu gang di desa Kemiren yang banyak dikunjungi
wisatawan karena di sana banyak terdapat pohon dubang. Dari salah satu pohon di
rumah penduduk, kami membeli dua buah dubang. Harganya cukup mahal sekitar Rp
400 ribu perbuah. Hal ini bisa dimaklumi karena stok dubang cukup langka.
Begitu buah yang bernama latin Durio graveolens ini dibuka, menyembul daging
berwarna merah, tebal dengan biji kecil, dan rasanya manis. Kadar alkohol
dubang ternyata lebih rendah dari durian pada umumnya, serta aroma yang lebih
menyengat. Warna merah dari daging buah durian menurut pakar hortikultura,
disebabkan oleh perkawinan silang antar varietas dan termasuk faktor genetis.
Dan, konon rasa yang enak, disebabkan karena letak geografis
Banyuwangi. Pohon dubang tumbuh di tempat yang cukup mendapatkan garam dari
laut yang dihembuskan angin, serta sulfur yang dibawa dari arah Gunung Ijen dan
Gunung Raung.
Sekalian jalan, mumpung berada di Desa
Kemiren, kami meminta pemandu untuk mengantarkan ke Sanggar Genjah Arum milik
Setiawan Subekti yang merupakan pusat kebudayaan adat Using/Osing, dan tempat
workshop kopi. Saat tiba di sanggar, sebuah pertunjukan Othek menyambut kedatangan
kami. Othek adalah pertunjukan seni musik yang dilakukan oleh para wanita tua
Desa Kemiren. Para pemainnya memukul-mukul lesung dengan tongkat yang biasanya
digunakan sebagai penumbuk padi atau kopi. Dari situ muncul sebuah irama yang
sangat indah. Selain Othek, kami juga disuguhi oleh pertunjukan tari Barong
Kemiren. Bukan hanya Bali, Banyuwangi ternyata juga mempunyai Tari Barong. Bagi
masyarakat Kemiren, Barong adalah sebuah simbol kebersamaan seluruh warga desa.
Kami kemudian berkeliling sanggar
yang memiliki 7 rumah adat Osing yang ditata tidak beraturan. Rumah tersebut
berusia 100 tahun lebih. Aneka ornamen kuna terpajang di rumah yang terbuat
dari kayu dan tahan gempa tersebut. Selesai berkeliling kami mengakhirinya
dengn belajar membuat kopi, mulai dari menyangrai, menumbuk, menyaring bubuk
kopi hingga cara menyajikan kopi dengan benar sehingga menghasilkan citarasa
tinggi. Kemudian kami menghabiskan waktu minum kopi ditemani jajanan khas
Banyuwangi seperti tape buntut, bolu kuwuk dan bermacam gorengan.
Pesona
Blue Fire
Setelah mengumpulkan cukup tenaga, saya dan Ririen melanjutkan petualangan ke Kawah Ijen yang terkenal dengan fenomena api biru (blue fire), sunrise dan sunset yang menawan. Kami berangkat pukul 23.00 WIB. Dari kota Banyuwangi kami melewati rute menuju Kecamatan Licin yang berjarak 15 km dengan waktu tempuh sekitar 30 menit. Kemudian melanjutkan perjalanan dari Licin menuju pos pendakian kawah Ijen di Paltuding, berjarak sekitar 18 km. Sekitar 6 km sebelum sampai di Paltuding, kami melewati jalan yang dinamakan tanjakan erek-erek, berupa belokan berbentuk S dan sekaligus menanjak. Lama waktu tempuh perjalanan sekitar dua jam, karena jalanan rusak oleh air hujan maupun truk pengangkut belerang yang lewat setiap hari. Kami sampai di Pos Paltuding sekitar pukul 01.00 WIB.
Di pos ini, kami melihat puluhan
mobil dan ratusan motor diparkir. Terlihat ratusan orang siap melakukan
pendakian. Kebetulan kami berkunjung ke Kawah Ijen saat long weekend, sehingga jalur pendakian sangat ramai. Bahkan di
pintu masuk pendakian, kami menyaksikan antrean
panjang seperti orang hendak menonton konser musik menunggu pintu dibuka,
pada pukul 02.00 WIB. Kami juga menemui banyak turis asing yang sengaja datang
untuk memburu fenomena blue fire yang
hanya bisa dijumpai di Indonesia dan Islandia. Karena ingin menyaksikan
penampakan si api biru, kami harus memulai tur pada tengah malam sampai
sebelum matahari terbit dan trekking
ke Kawah Ijen mulai pukul 02.00 WIB. Karena
blue fire akan terlihat saat kondisi
gelap.
Kawah Ijen sendiri merupakan salah
satu kawah paling asam terbesar di dunia dengan dinding kaldera setinggi
300-500 meter dan ukuran danau kawahnya sekitar 960 meter x 600 meter.
Kawah tersebut terletak di kedalaman lebih dari 300 meter di bawah dinding
kaldera. Derajat keasaman kawah tersebut sangat tinggi mendekati nol sehingga
bisa melarutkan pakaian bahkan tubuh manusia dengan cepat.
Jalur pendakian Gunung Ijen, meski
tak terlalu tinggi, namun cukup terjal. Kontur jalan menuju kawah sangat
menantang dan menguras energi. Ditambah dengan lebar jalan yang tak seberapa,
sehingga saya dan Ririen harus ekstra hati-hati. Kami belum pernah melakukan trekking
pada malam hari, sehingga kami cukup dihantui ketakutan, membayangkan jalur
pendakian yang gelap, melewati pinggir jurang, dan penerangan yang diperoleh
dari sorot sinar lampu senter. Selama
pendakian, kami tak mau jauh dari guide
yang sudah paham dengan jalur pendakian. Oh iya jangan sekali-kali melakukan
pendakian tanpa ditemani pemandu.
Kami membutuhkan waktu berjalan kaki
kurang lebih 3 jam menempuh jarak 3 kilometer. Medan pendakiannya, satu
kilometer pertama berupa jalan datar, satu kilometer kedua menanjak, dan satu
kilometer selanjutnya lebih berat. Di kilometer kedua merupakan rute yang
paling berat, karena medan yang harus kami lalui berupa jalan berpasir dan
tanjakan yang dilalui memiliki kemiringan sekitar 60 derajat. Di jalur pendakian,
hanya ada satu pos untuk istirahat.
Karena kontur jalan yang terjal, banyak pendaki yang kelelahan dan terlihat terduduk di pinggir jalur pendakian,
hal yang sebenarnya sangat tak disarankan saat mendaki karena justru dapat
menambah beban pada tubuh.
Sampai di Kawah Ijen, kami mencium bau belerang yang menyengat. Perjalanan belum terhenti sampai di situ, karena sebuah tantangan sesungguhnya baru terhampar di depan mata. Jika masih kuat sebenarnya kami bisa turun mendekati kawah, untuk melihat dari dekat si api biru. Namun, kami memilih tak turun. Selain karena sudah kepayahan, kami ingin memandang api biru dari sudut pandang berbeda. Benar saja, pemandangan blue fire dari atas sungguh menakjubkan. Tiga titik api biru berkobar, menyala memancarkan semburat warna biru yang luar biasa indah. Uap panas dari kawah membumbung tinggi ke langit. Sorot cahaya senter para turis di sekitar api biru yang menembus tipis uap panas menambah semarak ‘’pertunjukan’’alam.
Tak hanya api biru, kami juga
menikmati keindahan lain yang menakjubkan. Lautan bintang di atas Gunung Ijen
membuat langit terlihat cerah. Dan, saat fajar tiba, ketika matahari mulai
menyinari kawasan Kawah Ijen, kami kembali melihat pemandangan elok. Matahari
bersinar dengan pancaran semburat warna oranye menjadikan kawasan yang tadinya
gelap perlahan menjadi terang. Kawah
Ijen mulai terlihat wujudnya. Danau kawah berwarna hijau kebiruan ditambah
cahaya matahari yang berwarna keemasan yang memantul di kawah tersebut,
menghadirkan pemandangan yang luar biasa indah.
Oh iya, popularitas Kawah Ijen
ternyata bukan hanya blue fire-nya
saja. Selama trekking, kami menemui
para penambang belerang. Mereka dengan berani mendekati danau untuk menggali
belerang dengan peralatan sederhana lalu dipikul dengan keranjang. Para
penambang belerang ini mengambil belerang dari dasar kawah. Di sini asap cukup
tebal, namun dengan peralatan penutup hidung seadanya seperti sarung, mereka
tetap mencari lelehan belerang yang didapat dari pipa yang menuju sumber gas
vulkanik yang mengandung sulfur. Gas ini dialirkan melalui pipa lalu keluar
dalam bentuk lelehan belerang berwarna merah. Setelah membeku belerang berwarna
kuning. Setelah belerang dipotong, para penambang akan memikulnya melalui jalan
setapak. Beban yang dipikul cukup berat antara 80 hingga 100 kg. Para penambang
sudah terbiasa memikul beban yang berat ini sambil menyusuri jalan setapak di
tebing kaldera menuruni gunung sejauh 3 kilometer. Untuk menambah penghasilan,
para penambang menjual souvenir berupa cetakan cairan belerang dengan berbagai
bentuk, seperti kura-kura, mobil sampai berbentuk pohon, dengan harga mulai Rp
2.000 sampai Rp 10.000.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Tips Berwisata Ke Banyuwangi
* Buatlah Daftar
Tempat Yang Akan Dikunjungi
Banyuwangi
memiliki banyak pantai yang indah, pilih beberapa tempat yang Anda inginkan.
Jika Anda ingin surfing bisa memilih
Pulau Merah atau G Land (Pantai Plengkung) jika Anda ingin melihat keindahannya
dan melihat sesuatu yang unik, bisa memilih Pantai Watu Dodol, Teluk Hijau dan
Sukamade. Anda juga bisa memilih lokasi yang ingin Anda kunjungi seperti Cagar
Alam Baluran, Taman Nasional Meru Betiri, Agrowisata Kalibendo. Desa Wisata
Osing dan sebagainya.
* Perhatikan
Budget
Meski biaya
selama tur di Banyuwangi tak terlalu mahal, karena harga penginapan, makanan
dan sewa mobil yang relatif masih murah, namun perjalanan menuju Banyuwangi
cukup mahal. Harga tiket pesawat Jakarta-Banyuwangi misalnya relatif masih
mahal. Anda bisa memakai dua moda transportasi, dengan pesawat atau naik
kereta. Beberapa kota sudah memiliki rute penerbangan dan kereta api langsung
ke Banyuwangu, namun beberapa kota masih harus transit ke Surabaya.
* Siapkan Fisik
Dan Stamina Prima
Sebelum
menjelajah Banyuwangi pastikan fisik dan stamina prima karena lokasi petualangan
yang menantang dan banyak menguras energi. Tidur, istirahat yang cukup, dan
siapkn suplemen, terutama sebelum mengunjungi pantai Sukamade dan Kawah Ijen.
* Siapkan
Masker, Jaket, Senter. Tongkat Penyangga
Barang-barang
penting yang wajib dibawa ke Banyuwangi, terutama saat hendak naik ke Kawah
Ijen. Masker berguna untuk menutupi hidung dari semburan asap belerang. Kacamata untuk melindungi mata dan air minum
untuk mengatasi tengorokan yang lengket jika asap belerang masuk ke dalam
mulut. Jaket juga wajib dibawa karena udara yang dingin. Senter berguna saat
melakukan trekking pada dini hari. Dan tongkat berguna untuk menyangga tubuh
saat naik dan turun selama trekking ke Kawah Ijen.
* Sepatu atau
sandal gunung
Kenakan sepatu
atau sandal gunung. Memakai sandal jepit atau sepatu kets cukup berbahaya,
karena bisa terpeleset saat Anda berada di daerah yang ekstrim dan penuh
bebatuan curam.
* Perhatikan
Larangan Dan Arahan Dari Petugas Setempat
Dari Pos Paltuding,
petugas setempat akan memberikan arahan kepada para pendaki. Salah satunya,
pendaki yang punya penyakit asma, jantung dan darah tinggi dilarang untuk
mendaki untuk alasan keamanan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar