Kamis, 17 Maret 2016

Tondano Minahasa

BERWISATA ALAM DAN SEJARAH DI TONDANO MINAHASA

Selain keindahan Taman Laut Bunaken, di Provinsi Sulawesi Utara juga terdapat wisata alam dan sejarah. Persisnya di Kota Tondano, Kabupaten Minahasa. Di sana ada danau Tondano, Kampung Jawa, dan makam Kiai Modjo, penasihat spiritual Pangeran Diponegoro, serta makam Pahlawan Nasional Kiai Ahmad Rifa’i yang berasal dari Kendal Jawa Tengah.

SENTIMEN  kedaerahan dan ''ikatan batin'' membawa saya yang berasal dari Semarang tergerak untuk mengunjungi Kampung Jawa Tondano dan berziarah ke makam Kiai Modjo serta Kiai Rifa’i di Kota Tondano, Minahasa Utara. Kota Tondano terletak sekitar 65 km ke arah selatan dari Kota Manado, dan sekitar 3 km dari kota ''seribu bunga'',  Tomohon. Jarak tersebut dapat ditempuh 90 menit perjalanan dengan bermobil melalui jalan yang sudah sepenuhnya diaspal. Namun, harap berhati-hati jika melintas jalur tersebut, sebab jalannya berkelok-kelok. Dan sebaiknya, saat pergi dan pulang dari Tondano, Anda tidak kemalaman di perjalanan. Selain ruas jalan yang tak ada penerangan, juga rawan hadirnya preman mabuk yang sering mencegat mobil yang melintas. Maka tak heran, jika di ruas jalan terdapat baliho-baliho besar berisi imbauan : ''Brenti Jo Bagate'', atau berhenti mabuk.
Berjarak dua kilometer dari kota Tondano terdapat Kampung Jawa Tondano atau sering juga disebut Kampung Jaton, merupakan salah satu kelurahan yang berada di kecamatan Tondano Utara, berpenghuni lebih dari 1800 jiwa. Warga Kampung Jaton merupakan keturunan pengikut Pangeran Diponegoro yang dibuang ke Tondano pada tahun 1929, serta keturunan para pejuang lainnya. Kampung Jaton dan Kiai Modjo sangat erat kaitannya. Karena Kiai Modjo dan pengikutnya yang mendirikan perkampungan tersebut.



Memasuki Kampung Jaton, Anda akan disambut Masjid Agung Al Falah, yang dibangun bersamaan dengan dibangunnya kampung tersebut. Dengan menggunakan konsep sebagaimana model masjid di Jawa pada masa lalu, masjid ini masih bisa menggambarkan sisa-sisa kebudayaan Kiai Modjo dan pengikutnya. Meskipun sudah beberapa kali direnovasi, namun bentuk utama dan tempat-tempat tertentu dari bagian masjid masih tetap dipertahankan sampai saat ini. Sokoguru (tiang penyangga) yang berjumlah empat dan menjulang setinggi kurang lebih 20 meter dibuat dari kayu utuh. Bagian bawah sokoguru ini dihiasi dengan ukiran khas Jawa. Mimbar kutbah pun masih asli, dihiasi dengan ukiran-ukiran kaligrafi Islam hampir di setiap bagiannya.  







Jejak Kiai Modjo dan Kiai Rifa'i

Berjarak satu kilometer dari Kampung Jaton terdapat kompleks makam  Kiai Modjo dan para pengikutnya. Di tempat ini juga dimakamkan salah satu pahlawan nasional, KH Ahmad Rifa’i asal Kendal. Kompleks makam ini terletak di daerah perbukitan di Desa Wulauan, Kecamatan Tolimambot. Karena letaknya berada di atas bukit, peziarah bisa menyaksikan pemandangan sebagian kota serta danau Tondano. Selain itu,  ada beberapa bagian dari kompleks pemakaman ini yang bisa dijelajahi seperti adanya batu nisan yang konon bisa mengeluarkan bunyi seperti gamelan.
Menuju makam Kiai Modjo, peziarah harus menaiki undakan menuju ke arah puncak bukit, berjarak sekitar 100 meter dari tepi jalan. Di depan ''gerbang'' undakan, di mana pintu pagar pertama berada, ada papan nama serta penjelasan singkat tentang Makam Kiai Modjo yang mulai terlihat usang, serta papan nama Pahlawan Nasional KH Ahmad Rifa’i yang terlihat masih baru.
Papan nama di pintu undakan menceritakan bahwa rombongan Kiai Mojo yang tiba di Tondano pada akhir tahun 1929 itu berjumlah 63 orang, dan semuanya laki-laki. Mereka kemudian menikah dengan wanita Minahasa, di antaranya bermarga Supit, Sahelangi, Tombokan, Rondonuwu, Karinda, Ratulangi, Rumbajan, Malonda, Tombuku, Kotabunan, dan Tumbelaka, dan kemudian beranak pinak di Kampung Jaton di Tondano.  Papan tersebut juga menyebutkan bahwa Kiai Mojo, yang nama aslinya adalah Kiai Muslim Muhammad Halifah, lahir pada 1764 dan wafat pada 20 Desember 1849.
Ada sebuah tengara yang dipahat di dinding tembok sebelah kiri pintu gerbang undakan, yang menunjukkan tahun pemugaran kompleks Makam Kiai Modjo yang diresmikan oleh Prof. Dr. Haryati Soebadio pada 1981. Makam Kiai Mojo, satu-satunya makam di dalam kompleks yang memiliki undakan sembilan.



Namun, yang dimakamkan di sana bukan hanya pengikut Pangeran Diponegoro. Ada juga Makam Kiai Ahmad Rifa’i yang dianugerahi gelar pahlawan nasional pada 10 November 2004 oleh Presiden SBY. Cungkup KH Ahmad Rifa'i berada dalam sebuah bangunan khusus di samping makam Kyai Modjo. Kiai Rifa’i yang lahir tahun 1786 di Tempuran, Kendal, Jawa Tengah, dan meninggal pada tahun 1859 adalah seorang ulama yang terkenal sangat anti penjajah Belanda, yang secara terbuka diungkapkannya melalui dakwah dan tulisan-tulisannya. Kyai Rifa’i mengajarkan bahwa pemerintah kolonial Belanda adalah kafir karena menindas rakyat, kaum birokrat tradisional adalah antek Belanda, dan karena itu juga kafir, dan praktik beragama tidak boleh bercampur dengan kepercayaan nenek moyang, yang dinilainya sesat dan musyrik. Kiai Rifa’i juga menikah dengan perempuan Minahasa dan memiliki banyak keturunan, yang di antaranya menjadi juru kunci Makam KiaModjo.
Selain cungkup makam Kiai Modjo dan Kiai Rifa’i ada juga cungkup Makam KH Hasan Maulani, yang dikenal juga dengan sebutan Eyang Lengkong, karena berasal dari Desa Lengkong, Garawangi, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Kyai Hasan, yang oleh orang Kuningan disebut ''Eyang Menado'', ditangkap Belanda pada 1837 lalu dibawa ke Ternate.
Usai berziarah di makam para pejuang bangsa, Anda bisa melihat keindahan Danau Tondano. Objek wisata air di Sulawesi Utara ini memiliki luas 4.278 hektar persegi. Menariknya, danau ini diapit oleh empat dataran tinggi sekaligus. Pegunungan Lembean, Gunung Kaweng, Bukit Tampusu, dan Gunung Masarang mengapit danau ini dan membuatnya menjadi semakin indah.
Beberapa bangunan dari bambu yang menjorok ke tengah danau, mirip seperti dermaga kecil, sangat cocok untuk bersantai bersama keluarga menikmati hamparan air danau yang dari kejauhan tampak gelap. Sekadar duduk-duduk menikmati makanan bersama keluarga, berfoto, atau memancing.  Menyaksikan keindahan danau hanya dari satu tempat memang kurang memberikan kepuasan. Berkeliling sambil berjalan santai di tepian danau mungkin bisa menjadi alternatif. Bukan hanya itu, menikmati pemandangan dari tengah danau pun bisa Anda lakukan dengan cara menyewa kapal kecil untuk menyusurinya.





Di danau ini pula sering diadakan pesta nelayan. Pesta ini dimeriahkan dengan hadirnya ratusan perahu bolotu yang bercorak warna-warni di tengah-tengah danau. Di dalam pesta ini, tedapat berbagai kegiatan, seperti lomba dayung, lomba perahu hias, lomba tangkap ikan tanpa alat, serta parade perahu bolotu.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar