MENELUSURI JEJAK PERADABAN DI KOTA MATARAM
Jika
Anda berkunjung ke pulau Lombok, sempatkanlah untuk menjelajah kota Mataram,
ibukota provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Kota Mataram sendiri merupakan sentra
dari perjalanan wisata di pulau Lombok dan saat ini dikembangkan menjadi salah
satu kota pariwisata. Pengaruh adat Sasak dan adat Bali cukup mewarnai
masyarakat di kota ini.
Di
Mataram, Anda bisa menemukan beberapa lokasi wisata bernuansa sejarah dan
budaya. Salah satunya adalah Taman Narmada yang terletak di Desa Lembuak,
Kecamatan Narmada, Lombok Barat, atau sekitar 10 kilometer sebelah
timur kota Mataram. Objek wisata ini bernaung di bawah Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan NTB dan telah ditetapkan sebagai benda cagar budaya.
Antara kurun waktu 1980-1988, taman ini sudah mengalami beberapa kali renovasi. Beberapa bagian yang sudah lapuk dan
rusak, seperti tebing-tebing kolam, taman, pagar, dan pura telah diperbaiki,
namun, tetap dipertahankan keasliannya.
Menurut catatan
sejarah, Taman Narmada dibangun tahun 1727 Masehi oleh Raja Mataram Lombok, Anak Agung Ngurah Karangasem. Pemilihan nama
Narmada tidak lepas dari agama Hindu yang dianut oleh raja dan rakyat pada masa
itu. Narmada diambil dari kata Narmadanadi, nama sebuah anak sungai Gangga di
India yang dianggap suci oleh umat Hindu.
Desain
taman ini dibuat menyerupai struktur Gunung Rinjani dan Danau Segara Anak.
Konon, ketika Sang Raja sudah terlalu tua untuk melakukan ritual kurban (Pekelan)
ke puncak Gunung Rinjani yang memiliki ketinggian 3.726 meter, Beliau memerintahkan
seluruh arsitek kerajaan untuk ‘’membawa’’ Gunung Rinjani ke pusat kota. Akhirnya
mereka bersepakat untuk membuat ‘’duplikat’’ Gunung Rinjani yaitu Taman Narmada.
Pada masa itu, selain sebagai tempat khusus untuk memuja Dewa Shiwa, taman ini juga
diperuntukkan sebagai tempat peristirahatan raja.
Di
bagian bawah Taman Narmada terdapat tiga kolam yang dialiri oleh sumber mata
air jernih. Jumlahnya yang tiga, sama dengan jumlah Danau Segara Anak di puncak
Gunung Rinjani. Taman seluas kurang lebih dua hektar ini memiliki beberapa bagian, seperti Pura Kalasa (Pura
Narmada), Bale Petirtan, Bale Terang, Bale Loji, Telaga Kembar, Telaga
Padmawangi, Bale Bancingah, Bale Pamerajan dan beberapa bagian lainnya.
Pura
Kelasa merupakan bagian taman yang berada di bagian paling atas. Untuk sampai
ke pura ini, Anda harus melewati puluhan anak tangga yang sengaja dibuat agar
tampak seolah-olah mendaki Gunung Rinjani. Antara bulan November dan Desember,
taman ini akan menjadi pusat ibadah. Para penduduk asli Lombok penganut agama
Hindu pada bulan tersebut biasanya merayakan Hari Pujawali dengan menaiki Gunung
Rinjani dan melakukan ritual Pekelan dengan melempar barang-barang dan perhiasan
kecil untuk menghormati dewa yang menjaga Gunung Rinjani. Namun, bagi yang
tidak mampu pergi ke gunung, mereka cukup datang ke Pura Kelasa.
Selain
Pura Kelasa, tempat lain yang menarik adalah
Bale Petirtan yang sumber airnya berasal dari Gunung Rinjani dan merupakan
pertemuan antara tiga sumber mata air, yaitu Lingsar, Suranadi, dan Narmada. Ada
kepercayaan bahwa orang yang meminum dan
membasuh wajahnya dengan air di sini akan awet muda. Menurut Andi, pemandu wisata di taman ini, sebenarnya air di Bale Petirtan mengandung banyak
mineral yang bisa menyembuhkan penyakit kulit dan dipercaya juga menyembuhkan
orang yang memiliki penyakit maag. Namun, dari dulu orang lebih percaya bahwa air
di sini bisa membuat orang awet muda.
Tak ada salahnya Anda mencoba khasiat
air yang ada di dalam ruangan sebesar 5x5 meter. Yang pasti, saat Anda membasuh
muka, rasa dingin dan segar akan terasa
dan menjalar di wajah. Untuk
masuk ke tempat ini, Anda diminta mengenakan selendang di pinggang dan
melepaskan alas kaki. Wanita yang sedang menstruasi dilarang
masuk. Di dalam ruangan ada tokoh agama setempat yang tugasnya mendoakan orang
yang datang. Bagi pengunjung
yang ingin bersembahyang (umat Hindu) di Bale Petirtan, akan dikenakan
pembayaran Rp 50 ribu sebagai ganti uang banten, yang akan disiapkan penjaga. Apabila
pengunjung tidak memiliki banyak waktu dan tidak sempat bersembahyang, bisa
membeli air tersebut dengan harga Rp 10 ribu per jerigen kecil.
Bangunan
lain yang ada di taman ini adalah Bale Terang
berbentuk rumah panggung yang terdiri atas ruang bawah yang berfungsi sebagai
gudang. Bagian atasnya terbagi atas tiga bagian, yakni dua bagian pada ujungnya
(utara dan selatan) sebagai tempat tidur raja. Sementara, ruang tengahnya
merupakan area terbuka sebagai tempat raja melihat pemandangan ke arah timur
menuju arah meru. Bukan hanya meru, dari
Bale Terang pengunjung pun dapat dinikmati kolam berair bening dan di kejauhan
terlihat pepohonan berbunga merah tua, yang menghembuskan aroma segar khas
bunga-bunga hutan. Selain Bale Terang,
juga terdapat Bale Pawedayan yang berfungsi sebagai tempat membaca kitab Wedha
dan Bale Loji, yakni bangunan rumah yang memiliki serambi terbuka, berfungsi
sebagai tempat peristirahan raja dan permaisuri.
Tiket masuk ke Taman Narmada ini cukup
murah, Rp 5 ribu. Begitu juga jika
wisatawan ingin merasakan air dingin menyegarkan di kolam pemandian, akan
diwajibkan membayar Rp 5 ribu per orang.
Taman Pura Mayura
Selain
Taman Narmada, di Mataram ada tempat
lain yang juga eksotis, yaitu Taman Pura Mayura yang berlokasi di dekat komplek
bisnis dan pertokoan di daerah Cakranegara. Perjalanan ke pura ini hanya
sekitar 15 menit dari pusat kota. Taman
Pura Mayura merupakan saksi keberadaan kerajaan Singasari dan orang-orang Bali
di Lombok pada abad ke-19, dibangun oleh Raja Anak Agung Made Karangasem
sekitar tahun 1744. Pada mulanya area taman ini bernama Taman Kelepug.
Nama tersebut diambil dari suara “klepug… klepug… ”, yaitu suara aliran air
dari mata air yang jatuh ke kolam. Nama tersebut kemudian diganti ketika taman
direnovasi oleh Raja Anak Agung Ngurah Karangasem (yang juga membangun Taman
Narmada), sekitar tahun 1866.
Nama
Mayura diambil dari bahasa Sansekerta yang berarti burung merak. Pada waktu
itu, masih terdapat banyak ular yang berkeliaran sehingga meresahkan masyarakat
yang hendak berdoa di pura. Beberapa penasihat kemudian menyarankan agar di
dalam taman dan pura ditempatkan burung merak. Keberadaan burung merak memang
cukup membantu dalam mengusir ular-ular yang datang sehingga masyarakat dapat berdoa
dengan tenang. Sejak saat itu, nama “Mayura” mulai dipakai dan dikenal.
Ketika
menginjakkan kaki di Taman Mayura, Anda akan merasakan kombinasi suasana yang
unik, antara suasana alam yang asri, suasana religius, dan nuansa sejarah.
Wilayah taman ini terdiri dari dua bagian, yaitu area taman dan area pura. Di
area taman, Anda akan mendapati taman yang tertata rapi. Di sini Anda akan
merasakan kedamaian yang alami. Di sekeliling taman dipagari oleh pohon-pohon manggis,
dengan rumput hijaunya yang subur terawat. Di taman ini Anda juga akan menemui
sebuah kolam yang di tengahnya berdiri sebuah bangunan. Bangunan tersebut
bernama “Rat Kerte”, sering disebut sebagai “Gili” (dalam bahasa Sasak berarti
“pulau kecil”). Rat Kerte atau Gili tersebut dulunya sering dipakai sebagai
tempat untuk berkumpul, melakukan pertemuan atau rapat, serta untuk menerima
tamu kerajaan.
Di dalam
Rat Kerte, Anda akan menjumpai patung-patung yang bercirikan muslim, oriental,
dan jawa. Patung yang mencirikan muslim berada di bagian barat, timur dan utara
Rat Kerte, bersebelahan dengan bangunan linggih yang kental corak Hindu
Balinya.
Sementera
itu, di pinggir kolam yang mengelilingi Rat Kerte, kerap ditemui beberapa
pengunjung yang memancing. Selain itu, ada juga yang mencoba beberapa ritual
seperti melempar koin ke dalam kolam atau ritual memanggil ikan keramat yang
dipancing dengan telur asin yang berbau sangat amis.
Menurut
penjaga pura atau pemangku, ‘’roh’’ dari area taman ini sebenarnya terletak di komplek pura
yang berada di hulu kolam. Namun komplek tersebut biasanya luput dari mata para
pengunjung. Karena perhatian para pengunjung lebih kepada luasnya area taman
yang indah. Menginjak ke komplek pura, Anda bisa menemui empat pura utama.
Seperti Pura Gunung Rinjani, Pura Ngelurah, Pura Padmasana, dan Pura Gedong.
Pura Gedong sering digunakan untuk peribadatan umat Hindu, bahkan dari berbagai
penjuru dunia. Karena hal tersebut, Pura Gedong juga memiliki nama lain, yaitu
Pura Jagad Nata yang merupakan pura terbesar ketiga di Indonesia setelah Pura
di Borobudur, Jogjakarta dan Pura Bedugul di Bali. Di sekitar pura terdapat
pohon beringin. Menurut kepercayaan, pohon beringin bukan hanya mengandung
unsur mistis namun juga merupakan pertanda suatu tempat akan makmur, jaya,
serta selalu aman sentosa.
Komplek
pura ini tidak hanya dikunjungi oleh umat Hindu saja. Siapapun boleh masuk ke
area pura untuk melihat-lihat serta mengetahui sejarahnya. Hanya pada
waktu-waktu tertentu, area pura ditutup untuk umum. Seperti pada perayaan
Galungan, perayaan Kuningan, serta hari raya umat Hindu lainnya. Jika Anda
ingin mengetahui lebih banyak tentang kompleks pura serta Taman Mayura ini,
Anda bisa menanyakannya pada pemangku di Bale Pawedan.
Jika
mengunjungi taman ini, Anda harus mengenakan selendang kecil panjang berwarna
merah. Setiap pengunjung harus mengikatkan selendang ini di pinggang. Tiket masuk ke Taman Mayura Rp 10.000/orang. Di
sini, pengunjung akan ditawari menggunakan jasa guide atau tidak.
Makam di Lubang Beringin
Puas
menelusuri jejak sejarah di Taman Narmada dan Taman Pura Mayura, Anda bisa
melanjutkan wisata sejarah dan religi ke kompleks makam Loang Baloq yang berada
di Kelurahan Tanjung Karang, Kecamatan Ampenan atau sekitar 6 kilometer dari
Mataram. Anda dapat dengan mudah menuju
tempat ini karena dilalui oleh jalan lingkar Mataram yang sudah beraspal. Anda
bisa naik kendaraan umum atau menyewa mobil.
Loang
Baloq sendiri dapat diartikan sebagai lubang buaya karena dulunya tempat
makam tersebut adalah sungai besar yang banyak didiami bebaloq atau buaya. Sementara
dalam bahasa Sasak, Loang Baloq berarti pohon beringin yang berlubang. Ya, area
ini memang ditumbuhi sebuah pohon beringin yang konon sudah berumur ratusan
tahun.
Makam
Loang Baloq adalah kawasan pemakaman yang di dalamnya terdapat puluhan
jasad yang dimakamkan di sana. Makam yang kerap dikunjungi peziarah adalah
milik Maulana Syech Gaus Abdurrazak, Anak Yatim dan Datuk Laut. Syech Gaus
Abdurrazak adalah pendakwah Islam dari Baghdad Irak yang menyebarkan Islam di
Palembang dan kemudian ke Lombok sekitar 18 abad lalu. Setelah dari Palembang,
Syech Gaus meneruskan perjalanan dan mendarat di pesisir pantai Ampenan,
Mataram.
Setelah sampai, ia memberikan petuah-petuah yang bersumber pada ajaran
Islam kepada masyarakat setempat. Makam Syech Gaus Abdurrazak inilah yang
berada di lubang tepat di bawah pohon beringin berbentuk persegi panjang dengan
lubang di tengah, tempat di mana para peziarah biasanya menaburkan bunga. Untuk
masuk ke dalam makam lubang akar beringin yang lantainya sudah berkeramik ini,
ada pintu masuk dan di sana disiapkan air untuk peziarah mencuci kaki, berwudlu
ataupun menyiramkan air ke atas makam.
Sementara
itu, makam Anak Yatim berada di samping bagian luar makam Maulana Syech
Gaus Abdurrazak dengan ukuran yang relatif lebih kecil. Di samping makam
ini, terdapat makam Datuk Laut dengan bangunan permanen berukuran 3 x 4 meter
berkeramik warna hitam.
Tidak
hanya berziarah, pengunjung yang datang ke kompleks makam ini juga menggelar
sejumlah ritual seperti potong rambut anak yang masih balita atau disebut
dengan Ngurisang. Peziarah biasanya juga menyampaikan nazar dan berdoa di makam.
Bagi yang menyampaikan nazar tertentu, mereka selalu mengikatkan sesuatu ke
akar gantung pohon beringin. Jika nazar mereka dikabulkan, mereka akan
kembali lagi ke tempat itu dan membuka ikatan serta membayar nazar yang sudah
disampaikan. Tradisi dan kebiasaan ini disebut dengan Saur Sesangi. Kompleks ini ramai dikunjungi warga saat Idul
Fitri hingga perayaan lebaran topat, tujuh hari setelah Idul Fitri dan
perayaan Maulid Nabi.
Sayangnya,
potensi wisata makam Loang Baloq belum dimaksimalkan. Padahal setiap hari,
ratusan bahkan ribuan peziarah datang ke makam ini. Sejauh ini tidak ada tour guide yang bisa menjelaskan sejarah
tentang makam tersebut. Hanya ada sedikit informasi melalui papan yang memberikan penjelasan
terkait makam. Penataan areal makam juga terkesan tidak rapi. Para pedagang
dibiarkan memenuhi sekitar area makam tanpa adanya penataan. Penataan area
parkir juga kurang baik sehingga membuat para peziarah memarkir motor dan
mobilnya di badan jalan.