Reinkarnasi Pabrik
Gula Colomadu
PABRIK
Gula (PG) Colomadu di Kabupaten Karanganyar Jawa Tengah selama 20 tahun sudah tidak difungsikan dan kondisinya
terbengkalai. Namun ‘’denyut’’ aktivitas
dari pabrik gula yang berhenti produksi pada tahun 1998 ini kembali berdetak
setelah direvitalisasi. Pabrik gula yang berada di jalan Adi Sucipto ini, sekarang punya nama De Tjolomadoe dan menjadi
destinasi wisata sekaligus kawasan komersial. De Tjolomadoe mulai menjadi perbincangan
setelah diresmikan pada bulan Maret 2018 dan di sini diselenggarakan konser
musik tingkat dunia dengan menghadirkan musikus David Foster dan Brian McKnight.
Pabrik Gula Colomadu sendiri dibangun pada 1861 oleh Kanjeng Gusti
Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Mangkunegaran IV (1853-1881). Tahun 1928, pabrik ini mengalami
perluasan area lahan tebu dan perombakan arsitektur. Pada masa kejayaannya, Colomadu mampu mengekspor gula
hingga ke Belanda, Singapura, dan Bandaneira. Dari hasil penjualan gula pula, Mangkunegara IV bisa mendirikan sekolah rakyat, membangun
jalan, dan irigasi.
Setelah merdeka, PG Colomadu dinasionalisasi ke
tangan Pemerintah Republik Indonesia pada 1946 melalui Penetapan Pemerintah No.
16 Tahun 1946 tanggal 15 Juli 1946. Namun, pabrik terus hidup dan gula tetap
diproduksi di mana pengelolaannya diserahkan kepada Perusahaan Perkebunan
Republik Indonesia (PPRI). Pada 1981, PG Colomadu dikelola oleh Perusahaan
Nasional Perkebunan (PNP), dan mulai 1996 masuk ke dalam wilayah pengelolaan
PTPN IX. PG Colomadu berhenti
berproduksi pada 1 Mei 1998 karena kesulitan bahan baku, dan sejak itu bangunan
terbengkalai.
Tahun 2017, PT PP (Persero) Tbk, PT PP Properti Tbk, PT
Taman Wisata Candi Prambanan, Borobudur, dan Ratu Boko (Persero), dan PT Jasa
Marga Properti membentuk joint venture
dengan nama PT Sinergi Colomadu untuk melaksanakan konstruksi revitalisasi
dengan mengikuti kaidah cagar budaya. Awalnya sempat kesulitan mencari blue print PG Colomadu. Bahkan, untuk mencari foto-foto PG Colomadu, tim
revitalisasi harus berburu hingga Leiden, Belanda, dan hanya ditemukan 2-3 foto tentang pabrik
ini. Namun, itu tak menyurutkan semangat
untuk membangkitkan kembali kejayaan Colomadu.
Ground
breaking dilakukan 8 April 2017. Studi
kelayakan melibatkan berbagai pakar di bidang arsitektur, sejarah, dan budaya
untuk mengubah pabrik gula tersebut agar kembali berdaya. Hasilnya? Meski belum
rampung semua, De Tjolomadoe sudah bisa dikunjungi sebagai salah satu destinasi
wisata di Karanganyar.
Berkeliling Stasiun
Untuk tur berkeliling De Tjolomadoe,
sampai saat ini, pengunjung belum dipungut biaya. Hanya saja jika Anda akan
melakukan pemotretan untuk prewedding
atau hal-hal yang bersifat komersial akan dikenai biaya. Dari kejauhan, kesan
megah dari De Tjolomadoe langsung terlihat.
Cerobong asap yang menjulang tinggi serta fasad pabrik yang bernuansa
kolonial menunjukkan kejayaan De Tjolomadoe pada masa lalu. Tulisan besar 'Anno
1928' terpampang di salah satu sisi bangunan, penanda dari kehebatannya saat
dipegang oleh Mangkunegara VII di tahun yang sama.
Bangunan seluas 1,3 hektar di atas
lahan 6,4 hektar ini terlihat kokoh, dan tetap mempertahankan kekayaan nilai
historis. Memasuki ruang utama, mesin-mesin pabrik, cerobong asap, rel lori
pengangkut tebu tetap bisa dilihat. Beberapa bagian dinding dibiarkan tetap
mengelupas tidak diperbaiki untuk mempertahankan kesan masa lalu. Bagi pengunjung yang gemar berfoto, De Tjolomadoe dapat
sepenuhnya menyalurkan hasrat Anda. Setiap sudutnya tampak begitu instagenik
dan cantik untuk diabadikan lewat foto.
Memasuki bangunan De Tjolomadoe,
pengunjung akan melihat langsung bagaimana kondisi pabrik gula dengan
mesin-mesin buatan Jerman yang masih bertahan. Dari pintu masuk, hal pertama
yang akan Anda temui adalah ruangan lapang, pada bagian atas tertulis ‘’Stasiun
Ketelan’’. Tegel lawas berwarna hitam
dan kuning tampak mendominasi ruangan ini. Pada dinding bagian kiri ruangan, terdapat dua
buah lingkaran besar dan di dalam lingkaran terdapat lubang-lubang kecil. Di
atasnya bertuliskan ‘’Ketel Tekanan Rendah’’. Para pengunjung biasanya berfoto
di tengah-tengah antara dua bulatan besi.
Kemudian pada sisi sebelah kanan ruangan terlihat mesin giling tebu
sebagai latar . Di ‘’Stasiun Ketelan’’ juga terdapat area food
and beverage.
Dari
Stasiun Ketelan, pengunjung bisa masuk ke ruangan dalam dan Anda akan menemui
ruangan bernama ‘’Stasiun Penguapan’’ yang merupakan area arcade. Di stasiun tersebut terdapat ketel dengan ukuran besar yang
masih terpasang di bagian atas. Sekarang, kawasan itu dipercantik dengan
keberadaan coffee shop, stan kerajinan batik, serta stan busana
muslim.
Tak jauh dari Stasiun Penguapan
tedapat Stasiun Gilingan yang menjadi ruangan favorit pengunjung. Terdapat
mesin berukuran besar yang pada masa itu digunakan untuk menggiling tebu. Dari ruangan inilah terbayang bagaimana
proses pengolahan batang tebu menjadi gula. Ruangan ini juga didominasi tegel
klasik warna hitam kuning. Ruang ini awalnya
merupakan ruang pengolahan tebu sejak diturunkan dari truk, hingga diangkut
lori menuju mesin penggilingan. Tak heran jika mesin-mesin giling terpampang
dominan, sementara rel lori membujur di bawahnya. Di ruangan ini pengunjung
bisa melakukan swafoto dengan latar mesin-mesin raksasa. Mesin giling
yang berukuran besar masih tampak gagah terpasang. Hanya saja untuk
mempercantik kondisi roda giling yang bergigi itu, kini dicat kembali.
Sedangkan, di bagian pinggirnya dipasang kaca pembatas.
Di
Stasiun Gilingan ini juga terdapat dua papan besar, di mana Anda bisa melihat
foto-foto De Tjolomadoe sebelum dan sesudah revitalisasi. Anda bisa melihat kondisi sebelum revitalisasi
yang terbengkalai dan memprihatinkan hingga kemudian disulap kembali menjadi
bangunan yang layak seperti terlihat seperti sekarang.
Dari Stasiun Gilingan, Anda bisa
memasuki Stasiun Karbonatasi. Di sini juga terdapat mesin pengolahan gula namun
tak sebesar seperti yang ada di Stasiun Gilingan. Stasiun Karbonatasi
difungsikan sebagai art and craft gallery.
Anda bisa membeli aneka kerajinan dan batik di sini.
Selain
tiga stasiun itu, di bangunan pabrik itu
juga terdapat stasiun sarkara, dan stasiun masakan. Saat ini, dua stasiun
terakhir itu telah disulap menjadi concert hall dan ruang
multifungsi lengkap dengan restoran dan cafe. Apabila lapar atau
haus, tersedia juga sejumlah pilihan kafe dan rumah makan di dalam De
Tjolomadoe. Beberapa di antaranya adalah Tjolo Koffie dan Besali Cafe.
Pihak pengelola memang cukup pandai
membagi beberapa ruangan sesuai dengan proses pengolahan tebu menjadi gula
sesuai stasiunnya. Menggunakan penanda bertuliskan besar yang digantung di
langit-langit, tertulis Stasiun Gilingan, Penguapan, Karbonatasi dan Ketelan
mempermudah pengunjung memahami fungsi mesin ataupun alat yang ada di
sana. Walau sudah tidak utuh dan 'hidup'
sebagaimana di masa lalu, sejumlah bekas ketel uap dan mesin giling itu telah
diberi sentuhan baru lewat cat. Adapun jika pengunjung masih menjumpai karat di
gigi mesin, ini menjadi bukti ketangguhannya dulu.
Selain sebagai objek wisata, De
Tjolomadoe juga difungsikan sebagai tempat kegiatan MICE (meetings, incentives,
conferencing, exhibitions). De Tjolomado memiliki concert hall dengan kapasitas
3.000 orang serta ruang pertemuan dan pameran berkapasitas 1.000 orang. Tak hanya venue indoor, De Tjolomadoe juga menyisakan ruang outdoor
yang luas. Bagian depan gedung tersedia lokasi parkir, taman, dan arena
pertunjukkan yang mampu menampung 6000 orang, dan ratusan kendaraan.
Ya,
De Tjolomadoe bangkit membawa napas baru. Dengan wajah sebagai wahana wisata kekinian, sejatinya,
De Tjolomadoe cukup asyik dan representatif untuk dijadikan tempat berkumpul
bersama orang-orang tercinta. Menikmati taman, berkeliling museum ataupun
nongkrong makan dan minum di kafe-kafenya
yang unik. Namun, akan lebih menggigit jika para pengunjung dibuat lebih
mengerti bagaimana bernilainya ke dua bangunan ini dilihat dari sisi
historisnya. Pihak pengelola bisa menyediakan tour guide yang bisa menerangkan tentang sejarah dan apa yang ada
di dalam De Tjolomadoe.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar