Mengeksplorasi
Keindahan Jalur Sosebo
Ingin melakukan wisata murah meriah?
Anda bisa menelusuri jalur Solo-Selo-Borobudur atau disingkat SSB atau Sosebo. Anda bisa menemukan banyak tempat wisata alam yang
bisa diakses gratis tanpa karcis, atau jika harus membayar, Anda tak perlu
merogoh kocek dalam-dalam. Jalur Sosebo sendiri bisa dicapai kurang lebih
perjalanan 30 menit dari Boyolali kota. Sosebo menjadi jalur favorit dan
pilihan bagi para pendaki yang hendak menaklukkan gunung Merapi maupun Merbabu
karena medannya yang tidak berbahaya dan jaraknya yang lebih dekat dari jalur
yang lain. Pemerintah setempat, saat ini
secara bertahap memperbaiki tempat tujuan wisata di jalur Sosebo. Di antaranya memperbaiki
sejumlah bangunan yang rusak paska erupsi gunung Merapi, seperti joglo 1 yang terdapat gedung Merapi
Theater, New Selo di desa Lencoh, dan membangun jembatan gantung di lereng
Merapi sebagai jalur evakuasi warga.
Lokasi pertama yang bisa Anda kunjungi
adalah tanjakan Irung Petruk. Saat melintas jalur Sosebo dari Boyolali kota,
Anda bisa menghentikan mobil atau kendaraan di tanjakan yang berada di desa
Genting, Kecamatan Cepogo, Boyolali. Lokasi ini menjadi tempat
pemberhentian wisatawan untuk istirahat, menikmati keindahan pemandangan dan
sunrise serta spot bagus untuk berfoto.
Tepat di tikungan jalan yang menanjak, Anda akan menjumpai patung Petruk yang menjadi ikon tempat ini. Latar belakang
pembangunan patung Petruk sendiri berasal dari masukan dan aspirasi warga
lereng Gunung Merapi-Merbabu yang sampai saat ini meyakini adanya legenda Mbah
Petruk. Di luar cerita legenda, penamaan Irung Petruk sebenarnya merujuk
pada bentuk tikungan yang jika dilihat dari atas, seperti hidung petruk yang
lancip.
Setelah menikmati keindahan alam dari tanjakan Irung Petruk, Anda bisa melanjutkan perjalanan ke agrowisata Selo Pass di ketinggian sekitar 1.400 m dpl. Dahulu tempat ini hanya kebun sayuran dan buah, sama seperti lahan-lahan milik penduduk di sekitar Selo. Namun kemudian oleh pemiliknya disulap menjadi kawasan wisata alam pada tahun 2002. Jika Anda sekadar berkunjung untuk melihat-lihat kebun sayur di sini, tidak dipungut biaya. Biaya hanya dibebankan pada pengunjung yang menginap. Pengunjung yang hobi mendaki gunung juga dapat menyalurkan hobinya di sini. Karena Selo Pass juga terkenal sebagai titik awal pendakian dan trekking ke puncak gunung Merapi. Untuk pendakian dengan jasa pemandu dikenakan biaya bervariasi antara Rp200 ribu hingga Rp250 ribu per orang.
Di Selo Pass, Anda bisa berkeliling
kebun sayuran (kubis, wortel, seledri, daun bawang, brokoli, dan kol bunga). Di
tempat ini Anda juga bisa mendapati pohon kesemek, stroberi yang ditanam dalam
polibag dan tanaman alfalfa (Medicago sativa) yang berasal dari pegunungan
Mediterania. Kini Selo Pass menjadi satu-satunya tempat penanaman Alfalfa dalam
skala luas di Indonesia meski hanya 3.000 m2. Alfalfa sendiri bisa dimanfaatkan
sebagai bahan ramuan herbal, sayuran, dan pakan ternak. Di Selo, tanaman ini
diolah menjadi ramuan herbal berupa teh seduh dan ekstrak. Setelah berkeliling
kebun sayur, Anda bisa mencicipi teh seduh alfalfa.
Di
kawasan ini, Anda dapat menikmati pemandangan indah di area pendakian gunung,
tersedia fasilitas outbound, seperti flying fox, team work,
dan fun game, serta New Selo yang merupakan pos pengamatan gunung berapi.
Sementara itu di desa-desa di lereng Merapi, Anda juga bisa menyaksikan kesenian tradisional
seperti Reog Ponorogo, Ketoprak, Topeng Ireng, Jatilan, Tari Kuda Lumping
Turonggo Seto, Tari Prajuritan, serta tradisi kearifan lokal upacara sedekah
gunung Merapi yang digelar satu tahun sekali. Wisatawan juga bisa melihat film tentang gunung Merapi
di Merapi Theater di Joglo 1 dengan membayar Rp2.500 per orang.
Gardu Pandang dan Jembatan Gantung
Tempat
lain yang bisa Anda kunjungi saat melewati jalur Sosebo adalah gardu pandang
Bukit Gancik yang saat ini menjadi lokasi favorit wisatawan. Dari
foto-foto selfie yang
diunggah ke media sosial, banyak yang penasaran dengan tempat ini. Gardu
pandang Gancik dibangun tepat menghadap
gunung Merapi. Bangunannya terbuat dari kayu dan bambu setinggi 10 meter dan
berada di ketinggian 2000 meter di atas permukaan laut (Mdpl). Pembangunan
gardu pandang ini dilakukan secara swadaya warga setempat. Warga Selo merintis
agar Bukit Gancik bisa menjadi destinasi pendukung agrowisata yang ada di
kawasan tersebut. Ide ini bermula dari penetapan Desa Selo sebagai Desa
Berdikari oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jateng. Warga khususnya kelompok
sadar wisata (pokdarwis) kemudian menggali setiap potensi yang ada di desa
salah satunya Bukit Gancik.
Pengunjung
yang datang ke gardu pandang ini akan merasakan sensasi berada di atas awan,
tanpa perlu mendaki puncak hgunung Merapi atau Merbabu. Anda apat mendirikan tenda, sekaligus menunggu
datangnya sunrise maupun sunset. Untuk mencapai gardu itu,
pengunjung bisa berjalan kaki sekitar 20 menit. Bisa juga menempuh perjalanan
menggunakan sepeda motor melintasi jalur-jalur pertanian yang sebagian sudah
dibeton.
Dari
gardu pandang di Bukit Gancik, Anda bisa melihat pemandangan segitiga emas,
Lawu-Merapi-Merbabu. Pada malam hari,
keindahan alam dari bukit itu tak kalah menarik. Seperti lintang terbalik dan kerlap
kerlip lampu kota Solo yang terlihat dari sini. Nama Gancik diambil dari
sejarah Kiai Syarif yang tinggal di Merbabu pada tahun sebelum kemerdekaan.
Jalur di bukit itu konon sering menjadi jalur naik turunnya Kiai Syarif dari
Merbabu ke Pasar Selo.Di sini dulu tempat gawe mancik [untuk pijakan] kiai.
Gawe mancik saat kiai memandang alam sekitar dan gae becik. Warga akan menata
bukit itu menjadi lebih eksotis. Perkebunan sayur yang mengelilingi bukit akan
dikemas menjadi kawasan agrowisata.
Selain
gardu pandang Bukit Gancik, tempat lain yang wajib Anda kunjungi adalah
jembatan gantung Selo dengan pemandangan yang indah. Jembatan gantung ini sebenarnya
dibangun untuk kepentingan evakuasi warga di lereng gunung Merapi khususnya
warga Dukuh Salaran Jrakah, Kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali. Jembatan ini
mulai dibangun pasca erupsi hebat di tahun 2010 dan diikuti banjir lahar dingin
yang menghancurkan sejumlah jembatan penghubung desa dan bendungan. Posisi
keberadaan jembatan gantung ini relatif aman dari terjangan banjir.
Berselang
beberapa tahun jembatan gantung Selo menjelma bukan hanya sebagai jalur
evakuasi namun juga menjadi tempat rekreasi. Hal ini didukung oleh konstruksi jembatan
yang unik ditambah dengan pemandangan cantik dari dua gunung eksotis yakni
Merapi dan Merbabu. Jika menoleh ke arah barat maka samar-samar akan terlihat gunung
Sindoro dan Sumbing. Di sekitar jembatan ini terlihat pula hamparan kebun sayur
milik warga yang membuat segar mata. Di
tempat wisata ini Anda bisa berfoto-foto di atas jembatan yang pembangunannya
menghabiskan dana dua miliar ini.
Saat
terbaik untuk menikmati keindahan alam
dari jembatan gantung ini adalah waktu pagi dan sore hari. Pada pagi hari
udaranya masih sejuk dan Anda bisa menyaksikan kumpulan kabut membentuk awan di
sekitar gunung Merapi. Sementara pada
sore hari, Anda bisa menikmati panorama will-o’-the-wisp atau dalam bahasa jawa disebut ‘candik ayu’
di cakrawala langit sebelah barat.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Dari Sambal Lethok
Hingga Jadah Selo
Berkunjung
ke Boyolali, tak lengkap rasanya jika tak merasakan kuliner khas daerah.
Sebelum Anda mengeksplorasi jalur Sosebo, Anda wajib berwisata kuliner di kota
Boyolali. Di kota ini, Anda bisa menikmati masakan sambal tumpang. Orang
Boyolali menyebutnya sambal lethok, yaitu perpaduan nasi atau bubur dengan
sayuran rebus yang diberi kuah sambal tumpang di atasnya. Dari situlah muncul
sebutan sambel tumpang. Komposisi sambal berbahan dasar santan dan tempe busuk
yang dibumbui bumbu cabai, kencur, serai, daun salam, daun jeruk, bawang merah,
dan bawang putih. Kuah sambal inilah yang menjadikan rasa gurih dan pedas pada
nasi atau bubur tumpang. Biasanya, di dalam kuah sambal tumpang juga ditambahi
tahu sebagai lauknya.
Beberapa
kedai sambel tumpang legendaris di Boyolali di antaranya warung sambel tumpang
Mbah Merto yang sudah berada pada
pewaris generasi ketiga, Bu Parti. Warung yang sudah ada sejak 15 tahun lalu
ini buka mulai pukul 03.30 hingga 09.00
WIB, di Jalan Pandanaran Boyolali yang letaknya seperlemparan batu dari
perempatan terminal kota Boyolali. Untuk menikmati satu porsi nasi atau bubur
tumpang, Anda cukup merogoh kocek Rp 3000.
Warung sambal tumpang lainnya
yang juga memiliki banyak pelangga, di antaranya warung nasi tumpang Mbok Nah
yang buka sejak tahun 1960. Ada juga bubur dan pecel tumpang Mbok Sagi di jalan
Pahlawan Boyolali. Sementara di warung nasi tumpang Pak Suprih, di perempatan
lampu merah, Jalan Tentara Pelajar, Boyolali, sambal tumpang yang dijual sudah
siap bungkus dan diletakkan dalam keranjang rotan. Pembeli yang ingin menikmati
sambal tumpang, bebas mengambil bungkusan yang telah disediakan seharga Rp 2000
per bungkus. Selain itu, yang terkenal di warung ini adalah pendamping untuk
menikmati sambal tumpang yaitu, susu sapi murni seharga Rp 2500 per gelas.
Sementara itu di kawasan Selo, Anda bisa mampir dan istirahat sejenak menikmati view Merapi sembari minum kopi dan makan jadah (uli) bakar di warung Mbah Karto. Di warung yang kecil dan sederhana, Mbah Karto menyajikan jadah yang lembut dan lumer, yang bisa dinikmati dengan cara dibakar ataupun tidak, disertai srundeng manis ataupun tempe bacem. Bahkan karena rasa gurihnya yang pas, jadah ini bisa dinikmati begitu saja tanpa tambahan apapun. Dan yang patut dicatat, jadah Mbah Karto tidak cepat kering seperti kebanyakan jadah. Jadah Mbah Karto ini benar-benar lembut dan lumer, serta tahan lebih dari 1 hari. Tentunya hal ini tidak terlepas dari bahan yang digunakan. Beras ketan yang berkualitas Mbah Karto memang pelopor produksi jadah di Selo sejak zaman dulu. Namun jadah Selo baru booming setelah pencanangan jalur wisata Solo-Selo-Borobodur (Sosebo). Seringkali orang sengaja datang ke Selo hanya untuk menikmati jadah bakar dan segelas teh hangat. Selain jadah, Mbah Karto juga menjual wajik.
Sementara itu di kawasan Selo, Anda bisa mampir dan istirahat sejenak menikmati view Merapi sembari minum kopi dan makan jadah (uli) bakar di warung Mbah Karto. Di warung yang kecil dan sederhana, Mbah Karto menyajikan jadah yang lembut dan lumer, yang bisa dinikmati dengan cara dibakar ataupun tidak, disertai srundeng manis ataupun tempe bacem. Bahkan karena rasa gurihnya yang pas, jadah ini bisa dinikmati begitu saja tanpa tambahan apapun. Dan yang patut dicatat, jadah Mbah Karto tidak cepat kering seperti kebanyakan jadah. Jadah Mbah Karto ini benar-benar lembut dan lumer, serta tahan lebih dari 1 hari. Tentunya hal ini tidak terlepas dari bahan yang digunakan. Beras ketan yang berkualitas Mbah Karto memang pelopor produksi jadah di Selo sejak zaman dulu. Namun jadah Selo baru booming setelah pencanangan jalur wisata Solo-Selo-Borobodur (Sosebo). Seringkali orang sengaja datang ke Selo hanya untuk menikmati jadah bakar dan segelas teh hangat. Selain jadah, Mbah Karto juga menjual wajik.